Ikhwan Akhwat, Nggak Liat

“Kalau ketemu emang gitu ya, Akh...!” Tanya teman disebelahku ketika kami berpapasan dengan seorang akhwat diseberang jalan menuju kampus. Dalam hati aku merasa tergelitik sendiri mengingat kebiasaan yang nampaknya berlaku pada hampir semua teman-temanku. Dalam artian teman-teman rohis kampus tentunya. Bersikap saling menunduk dan jalan lurus ke depan tanpa peduli dan seakan tak melihat antara satu dengan yang lainnya. Menghentikan segala celoteh yang sebelumnya terdengar blak-blakan, tertawa lepas. Itu semua terjadi baik pada teman-teman yang panggilannya kuawali dengan kata Akhi atau Ukhti.
Lucu memang. Aku sendiri tak paham. Mengapa harus mengambil setting itu saat berpapasan dengan yang disebut Akhwat. Terutama dengan mereka yang tak terlalu dekat kukenal. Padahal pada teman-teman perempuan lainnya bisa kusikapi biasa saja. Toh yang namanya menjaga sikap, terutama pandangan, bukan berarti harus selalu pura-pura tak melihat dan jalan seperti robot. Bagiku itu semua tak lebih dari sekedar menjaga gengsi dan jaga image. Mungkin biar lebih terasa kesannya dalam menjaga diri.
Sebuah sikap pilih kasih yang rasanya tak perlu terlalu dipertahankan. Toh andaikan kita juga sedikit terbuka pada akhwat-akhwat itu sebagaimana biasanya sikap kita pada teman perempuan lainnya, bukan berarti akan merusak hijab yang selama ini menjadi ciri khas kami. Satu pertanyaannya, mengapa harus kaku dengan akhwat-akhwat itu bila kita tak terlalu sulit untuk luwes pada teman-teman perempuan lainnya? Sepertinya bukan tempatnya bila papan setinggi satu meter yang menghijabi kami saat syuro berlangsung harus diandaikan juga hingga ke jalan-jalan yang memungkinkan kami berpapasan hingga saling tak melihat.
Sunggug disayangkan, sebuah kajian tentang pergaulan muda-mudi yang urgensinya tak pernah turun di kalangan kami selalu menjadikan muda-mudi zaman sekarang sebagai wacana. Lucunya, seakan kami merepresentasikan dalil yang gambarannya masih sangat umum menjadi sesuatu yang sangat sempit dan praktis. Jujur saja, nyaris tak pernah kutemui gambaran syar’i pergaulan remaja zaman dulu. Mungkin karena zaman dahulu jarang tercatat kenakalan remaja apa saja yang terjadi. Terlebih Rasulullah tidak berdakwah di usia remaja. Sehingga sulit membayangkan seperti apa sikap Beliau andaikata bergaul dengan lawan jenis saat seusia kita. Kita mengenal Beliau sebagai pendakwah yang bahkan sebelum ditemui Jibril pun ternyata sudah beristri. Bisa dibayangkan, pergaulan Beliau mungkin tak jauh beda dari orang-orang dewasa di sekitar kita. Hubungan Beliau dengan para remaja pun jarang menjadi buah bibir para Murobbi kami. Sehingga kami sangat minim kreatifitas dalam bersikap terhadap lawan jenis dan cenderung tak mau ambil pusing.
Aku tak tahu dengan pasti bagaimana kondisi pemuda, utamanya zaman Rasulullah dahulu. Apakah mereka juga beramai-ramai membaur seperti jalan menuju kampusku? Apakah mereka juga sering mengadakan syuro bersama lawan jenis mereka dengan menggunakan hijam setinggi satu meter? Dan yang terakhir, apakah mereka selalu cuek satu dengan yang lainnya saat berpapasan?
Andaikan Rasulullah berdakwah jauh lebih muda dari saat itu, berjuang untuk agama Allah saat seumuran kader-kader zaman sekarang, kira-kira bagaimana Beliau menyikapi perempuan-perempuan di sekitarnya? Itu PR untuk kita semua.
Previous
Next Post »

1 comments:

Click here for comments
Unknown
admin
August 29, 2013 at 8:11 PM ×

ha.. ha... ha.... ha....

No comment! :D

Congrats bro Unknown you got PERTAMAX...! hehehehe...
Reply
avatar
Thanks for your comment