Lagi-lagi rujak. Entah berapa puluh bahkan ratus bungkus rujak
yang sudah aku nikmati seumur hidupku. Walau sudah jelas makanan itu menjadi
sesuatu yang biasa di Madura, tapi bagiku rujak tetap istimewa. Kacangnya,
sedapnya, mentimun dan lontongnya, atau sayur dan kripiknya. Lebih-lebih
cingurnya. Dimanapun tempat di Madura ini, rujak tetap menjadi idamanku.
Menjadi alternatif mutlak saat penawaran kuliner beraneka macam di
tempat-tempat di madura. Khususnya desa. Ya, rujak itu istimewa.
Bahkan tak hanya sedapnya yang bisa membuatku tertarik.
Rujak memberiku banyak pelajaran dari para penjual rujak yang pada umumnya
perempuan. Karena rujak madura memang tidak dijual menggunakan gerobak yang
menampilkan berbagai macam buah dengan petis manis dari jawa. Tidak. Rujakku
dijajakan dari dalam warung-warung ruja yang sederhana. Bahan-bahannya dihampar
di atas meja kayu dengan komposisi sebuah cobek besar di tengahnya dan dikelilingi
bahan rujak lainnya. Penjualnya dari kalangan ibu-ibu bahkan nenek-nenek yang
bagiku lebih pantas untuk istirahat saja di rumah atau menjaga cucunya. Bukan
malah harus mengangkut barang dagangan dari rumah menuju warungnya. Aku saja
merasa terlalu berat memapahnya di atas kepala. Ditambah lagi harus bangun
sepagi mungkin atau pulang larut malam. Setidaknya mereka harus punya tenaga
lebih untuk mengulek bumbu kacang dan petis beberapa kali sehari. Melelahkan?
Entahlah.
Rujak tidak hanya punya cerita tentang rasa sedap di antara
bumbu-bumbunya. Ia juga mengenalkanku pada bagaimana mereka dijual dengan
penjual yang berbeda. Mereka mengajarkanku berbagai karakter dan nasib
penjualnya. Dimana rujak hadir dengan rasa sedapnya, merupakan gambaran sukses
si penjual rujak. Tapi bila rasanya mulai hambar, pertanda bila si penjual mulai
lelah dengan dagangannya atau memang seharusnya ia tidak menjual rujak. Bila
itu terus berlanjut, tak bisa disangkal dagangannya hanya akan dilewati begitu
saja oleh pembeli karena mereka akan membeli rujak pada penjual disebelahnya.
Ironis.
Rujak juga bisa mengajarkan kedisiplinan dan kekuatan. Membuat
sebungkus rujak tak seenteng membawa apalagi memakannya. Seorang nenek harus
kuat memapah segala dagangannya itu ke warung tempat biasa ia menunggu
pembelinya. Sebungkus rujak tak cukup diolah dengan dua atau tiga bahan. Tapi
lebih banyak lagi. Ia tak sekedar bumbu kacang dan petis yang dicampur tahu.
Tapi wajib diirisi mentimun dengan beberapa potong lontong dan sayur. Nenek
penjual rujak juga tak mau membuat pelanggannya haus atau mendesah karena
pedasnya cabe. Jadi dia juga harus membawakan air hangat. Bahkan ia harus punya
tenaga cadangan untuk mengulek kacang yang tak lunak dan petis yang cukup liat
hingga keduanya menyatu. Segalanya itu tak dapat aku perkirakan bagaimana
menyiapkannya jiak si nenek sudah harus buka warung pagi-pagi. Bekerja di dapur
setelah atau bahkan sebelum subuh datang.
Dan kalian tahu berapa harga rujak yang harus kita bayar!
Tiga ribu rupiah. Segala tenaga dan disiplin perempuan-perempuan itu cukup kita
bayar ‘sebesar’ itu. Seakan bagi mereka sekedar dapat mengepulkan asap kompor
di dapur mereka. Perempuan-perempuan itu, nenek-nenek itu, bahkan kulihat jauh
lebih tangguh dariku. Menerima apa adanya berapapun hasil berjualan rujaknya
setengah hari. Pun ketika penjual rujak lainnya berdagang disebelahnya,
cukuplah yakin bila rezeki itu telah ada referensinya masing-masing. Hingga tak
perlu khawatir tenaganya hari ini akan sia-sia karena rujak penjual sebelahnya
lebih ramai.
Perempuan-perempuan yang bagiku memang lebih cocok mengolah
bumbu rujak karena dari bahan yang sama tapi bisa menghasilkan kesan rasa yang
berbeda. Tidak seperti koki-koki restoran mewah yang kebanyakan laki-laki
karena mereka hanya paham mengolah masakan secara teoritis dengan sedikit
sentuhan tangan. Bumbu rujak dengan bahan yang sama menantang kelihaian tangan
pengolahnya untuk menjadikannya cita rasa terbaik. Olahan tangan perempuan-perempuan
tangguh yang disiplin. Tangan yang mungkin tidak dimiliki oleh makhluk bernama laki-laki.
ConversionConversion EmoticonEmoticon