Catatan diskusi bersama Ibu
Shofiun Nahidloh, S. Ag., M. Ag.* tentang lembaga pendidikan karakter di UTM...
Benarnya
banyak sekali lembaga-lembaga Dakwah yang memiliki potensi. LDK, LDF,
Mentoring, REMAS, hingga Asrama yang menjadi fasilitator dalam pembentukan
karakter madani khususnya bagi mahasiswa. Namun akan sangat disayangkan bila
lembaga-lembaga itu masih belum memiliki personil yang juga memiliki
kredibilitas dalam bidang pembinaan.
Mahasiswa,
terutama mereka yang secara parsial memiliki problematika individu, sosial,
tidak terkecuali akademik, bahkan akhlak seyogyanya dibina secara khusus. Tidak
cukup dari sebuah pendidikan PAI di kelas, ceramah di masjid, atau
aktivitas-aktivitas formalitas semata. Harus ada sebuah pendampingan secara
intents. Lebih dari sebuah mata kuliah Agama atau mentoring yang hanya berjalan
selama satu semester di bawah tuntutan akademik.
Dibutuhkan
sebuah sinergisitas antar lembaga. Baik dari para dosen agama yang tentunya
secara formal akademik memiliki visi membentuk karakter bersama-sama dengan LDK
(dalam artian semua lembaga-lembaga berorientasi dakwah di kampus) sebagai
media penggerak yang bersentuhan langsung dengan mahasiswa.
Layaknya
sebuah lembaga dakwah, para kader tidaklah semestinya hanya memiliki catatan
pergerakan dakwahnya cukup selama ia menjadi anggota atau pengurus dalam sebuah
periode lembaga itu. Namun sebuah orientasi dakwah harusnya memiliki sebuah
infinitas terhadap waktu. Bila suatu kali telah usai masa jabatannya, sungguh
sangat banyak ladang-ladang yang membutuhkan eksistensi dan aksi mereka untuk
terus bergerak memberi perubahan yang konstruktif.
Kita ambil
contoh salah satu lembaga bernama Mentoring. Lembaga ini memiliki potensi
tinggi dalam interaksi secara langsung kepada mahasiswa dalam pembentukan
karakter. Sejak awal telah dibentuk untuk menyiasati metode klasikal
pembelajaran dalam kelas agar lebih komunikatif. Lebih efektif dalam
pembentukan karakter yang tidak hanya ceramah teori ini-itu, tugas ini-itu,
presentasi ini-itu yang selama ini hanya menjadi materi formalitas akademik.
Terlebih-lebih bagi mereka yang telah menempuh pendidikan di pondok pesantren,
sudah lebih dari cukup untuk bisa menguasai materi PAI pada perkuliah semester
awal. Mentoring diharapkan bisa lebih mengajak mereka untuk lebih bisa memahami.
Mengapa masih ada mereka yang sudah sekelas mahasiswa tapi belum mengenal huruf
hijaiyah, mengapa teman satu kamar/kos saya sering membawa teman lawan jenis
yang bukan muhrim, mengapa acara konser dan musik jauh lebih ramai dibanding
pengajian di masjid, mengapa teman-teman saya yang mendapat nilai A pada PAI
dan Mentoring spiritualitas sosialnya biasa-biasa saja, dan masih banyak
problematika mahasiswa yang bagi kita sangat bertolak belakang dengan sebutan
Madura sebagai kota santri. Itu masih jauh.
Hal paling
menyinggung adalah pertanyaan kepada kita, bagaimana peran dosen PAI dan LDK menghadapi
problematika tersebut? Tentunya ini menjadi indikasi dari masyarakat yang
memahami masalah tersebut untuk memberi kita peluang dalam pengendalian sosial.
Seakan dosen PAI, LDK, bahkan pihak birokrasi lainnya dituntut tegas dalam
penanganan ini. Walau tuntutan itu berasal dari mereka yang hanya menginginkan
perubahan instan tanpa mau campur tangan, tapi memang sudah selayaknya kita
mengambil langkah real.
Sebetulnya
sangat banyak sekali orang-orang yang masih memiliki kesadaran dan menunggu langkah
kita. Setidaknya mereka memandang bahwa kitalah yang berada pada posisi paling
strategis dan memiliki hak untuk bersuara. Curhatan mentee tentang teman satu
kamarnya atau obrolan ibu-ibu yang risih dengan tempat kos sebelah rumah
mereka. Nampaknya kita sudah berusaha melalui proses birokrasi, baik skala
kampus hingga pemerintah daerah. Hingga mana usaha itu ditindak lanjuti, nyatanya
belum membuahkan hasil.
“Saya tunggu
perjuangan kalian...”.
Terimakasih Bu
Shofi.
* Dosen Pendidikan Agama Islam
Universitas Trunojoyo Madura
ConversionConversion EmoticonEmoticon