Jalan Kembali kepada Tuhan

Di sini. Tergantung tali melingkar. Mati di simpul tanpa leher sekarang. Tetapi tidak pada mulanya. Tidak berwarna tidak dibentuk. Adsnya sebuah kehadiran laksana saksi untuk Sang Izrail sekali seumur hidup yang telah tiba ke sana. Tali sebagai pembatas dunianya dan dunia kebebasannya. Sebagai tempat di mana roh, jiwa, dan jasadnya dipisah ke dalam dunia asalnya masing-masing. Di mana masing-masing dari segalanya itu membawa ponisnya sendiri-sendiri. Rohnya berjalan, ditutun menuju mendekati jurang kobaran Jahanam. Begitu pula jiwanya entah pergi kemana pun ia suka. Tak terpasung tak terikat. Tiada berbau tiada berwarna. Rasanya hanya wujud angin yang ada di mana pun mereka ada. Menyertai di tiap-tiap hembusan manusia-manusia yang berbicara padanya semasa hidupnya kemarin. Bahakan lebih sering jiwanya itu berkeliaran di antara pohon-pohon akasia di daerah itu. Seakan berpindah dari satu sudut melompat ke sisi lainnya. Atau bagi siapa yang menutup mata kemudian membuka telinga dan perasaannya, niscaya akan didengarnya jeritan jiwa itu melengking kesakitan. Layaknya suara orang tahanan yang dikuliti badannya semua. Atau dipotong sendi-sendinya hingga lepas tulang-tulangnya.

Sedang di dekatnya ada berteman sebuah bangku mahoni tua. Tersungkur jatuh, patah satu kakinya. Rapuh menyerap dingin dengan pecah di sudut sisinya. Retak tumpuannya. Berlubang papannya. Bila melihat batang pohon di atasnya, lambaian burung sayap kecil menyanyi sunyi berairmata. Bertubuh ringkih kering kerontang. Kepakannya mengisahi hidup pemilik tali lusuh itu.
Mungkin haram kisahnya. Mungkin tiada siapa peduli kepada kisahnya. Tiada yang mendengar kembali. Tiada siapa melihatnya. Seorang pun tiada mengingat. Padahal musim masih sama. Hujan dan basah. Air di sawah masih deras dialirkan. Batang padinya masih lemah, kuning kehijau-hijauan. Belum dilayak untuk diarit. Anginnya pun masih dari selatan ke utara. Angin musim membawa hujan. Batang itu pun masih diikat. Talinya masih melekat di kayu mengering. Di ujungnya, berteteskan air dan lembab. Tetesnya mengalir bercampur genangan darah kering pada tanah berbatu di bawahnya. Melebur jadi satu. Terserap tertelan tanah bumi yang pucat buram.
Kisahnya hanya dikisahkan untuk menghalang-halangi orang masuk ke tempat itu. Kisahnya hanya menjadi sumber takut bagi siapa yang mendengarnya. Maka hanya sunyi di tempat itu. Maka hanya gelap tempat itu. Tiada seorang pun melewatinya. Tidak siang ataupun malam. Beik senja maupun petang. Yang lewat hanya hembusan anginyg membawa udara basah. Atau kabu yang sejenak menyapa di gelap hari. Yang bisa didengar hanya suara daun tua yang jatuh membentur tanah. Atau yang bersentuhan satu sama lain sebelum akhirnya jatuh juga. Mungkin juga suara tetesan sisa hujan pada musim ini. Di mana hujannya lebih sering gerimis belakangan hari. Tidak lebat atau deras. Namun, begitu lama dan awet umurnya.
Ya, kisah itu. Nampaknya terlalu melara dan ironis untuk dikisahkan kembali. Memang lebih baik dihitamkan saja dari dunia ini. Dilupakan begitu saja. Agar tak perlu dibuatnya bagi yang mendengar itu untuk menangis. Atau mungkin pula sebaliknya. Mereka lebih mensyukuri kepada Tuhan mereka. Karena apa yang mereka miliki itu jauh lebih baik daripada apa yang diperoleh bagi si pemilik tali itu.
Mungkin tiada banyak yang tahu bila berbicara tentang si pemlik tali itu. Tak banyak yang tahu siapa dia, kecuali kawan-kawan yang akrab dengannya. Hidupnya papa dan menderita. Mungkin tidak ada yang dapat diambil sebagai manfaat dari dirinya. Dia hanya seorang muda yang adanya seakan tanpa kebaikan. Dia bukan memiliki orang tua yang kaya. Tidak pula seorang muda yang berfikir dalam. Tidak pintar atau pandai. Atau mungkin bila melihat wajahnya, tidak ada yang bisa membuat orang yang melihatnya itu ingat akan dirinya. Karena seperti yang lain, wajah itu biasa-biasa saja. Tiada yang menyimpan keindahan. Tentunya ia seorang lelaki.
Oh, mungkin bukan. Tapi bisa juga benar.
Entahlah! Sepertinya dari situlah penyebab segala ketidaktenangan hati dan jiwanya. Dari situlah hal yang menyebabkan ia berfikir tentang Tuhan lebih jauh. Memahami kehidupan lebih dalam lagi. Hal yang merubahnya menjadi manusia pengelana dunia tak kasat mata demi menemukan ketenangan atas tanya yang ada dalam benaknya.
Berusaha mencari jawaban tentang alasan Tuhan berbuat lain kepadanya. Ia mulai berjalan dari sebuah keingintahuan mengapa Tuhan tidak bisa memberi keadilan padanya. Keadilan Tuhan seperti sebuah pengecualian bagi dirinya. Apa yang dikatakan orang-orang itu mengenai Tuhan ternyata bukan untuk kehidupannya.
Saat itu pula ia berfikir. Bukan mustahil bagi Tuhan bila Ia ingin berbuat sesuka hati terhadap makhluknya. Baginya, Tuhan menciptakan segala sesuatu hanya dilandaskan pada sifatnya yang tunggal. Sifatnya yang sendiri dan sunyi. Itulah Tuhan dalam pandangannya. Makhluk hanya sebagai pengisi kebosanan Tuhan atas kesepian-Nya. Hanya sebagai tempat pelampiasan kejenuhan Tuhan yang tak terbatas.
Baginya Tuhan adalah Maha Mencintai. Tapi mengapa? Mengapa Tuhan juga harus menjadikan sebuah hukuman yang tiada menandingi deritanya. Orang-orang itu percaya begitu saja kepada kasih Tuhan hanya dengan sekedar mendapat surga. Mengapa? Mengapa orang-orang itu lupa dan mengabaikan sifat Tuhan yang tercermin melalui neraka?
Mengapa? Mengapa orang-orang itu begitu saja percaya pada janji-janji Tuhan? Mengapa mereka tidak takut bila Tuhan me... Ah, sudahlah! Mau bagaimana pun Tuhan itu bagi kehidupan makhluk ini, biarlah! Mau sebaik atau sekejam apa pun Tuhan itu, kita harus tetap sadar. Kita hanya sebagai zat terbatas bernama makhluk yang tidak pernah menang melawan Tuhan.
Lalu. Mengapa kita hadir dalam kehidupan sebagai makhluk? Bukan sebagai Tuhan?
Ah, mengapa kita harus disusahkan? Biarlah apa-apa yang ada itu cukup terjadi pada orang muda itu. Benarlah itu yang ia inginkan. Biarlah orang-orang sekarang merasakan nikmatnya hidup bahagia. Mengenal Tuhan yang hakiki. Berjalan dalam lorong kehidupan yang sebagaimana mestiya. Tanpa ada jalan berkelok, berbatu, atau bahkan diputus jurang kenistaan yang tak berdasar. Dalam tak terhingga jauhnya.
Begitukah? Benarkah hidup orang muda itu kita lepas begitu saja ceritanya. Yakinkah bila kisahnya kita abaikan begitu saja. Tidak. Bila kita abaikan hidup orang muda itu, berarti kita melupakan hal terpenting bagi kita. Bagi kehidupan makhluk Tuhan. Khususnya manusia.
Pemuda itu. Ya, pemuda pemilik tali dan bangku kayu yang basah itu. Nampaknya jiwanya masih bergentayangan. Ya, berhembus seperti nafas orang muda yang masih sabar. Tidak hangat ataupun dingin.
Entah bagaimana dituliskan kisah itu? Dari mana memulainya? Dari siapa diperkenalkan? Mungkin dimulai saat ia lahir ke dunia. Namun, bagaimana bila ada yang bertanya mengapa ia dilahirkan. Kalau begitu dari pertama kali ia melihat Brat. Ah, jangan! Pasti pemuda itu akan marah bila tahu ceritanya dimulai dari pertemuan itu. Pasti dia menyesal mengingat begitu jahatnya Tuhan telah memberinya mata. Mungkin lebih baik dimulai saat pemuda itu mulai suka menempatkan tangan di tubuh Anshouri. Oh... Jangan! Ia pasti takkan mau tahu bila yang memberinya tangan itu adalah Tuhan.
Oh... Dari manakah hidupnya harus dimulai? Mengapa? Mengapa setiap lembar kehidupannya terbungkus oleh keburukan? Mengapa setiap jengkal hidup orang muda itu menyumbang tanya besar yang tak terkuak? Hingga akhirnya harus langsung ia temui Tuhan-nya? Mengapa? Mengapa setiap ia bermimpi yang terlihat hanyalah gambaran kehidupan yang terlalu didustakan untuknya? Mengapa setiap robekan catatan, surat, sajak, dan nyanyian yang ia susun segalanya bergoreskan kekejaman takdirnya? Mengapa setiap jeritan, do’a, dan rintihan tangisnya bersuarakan kebiadaban Tuhan pada dirinya?
Baginya menjadi makhluk adalah suatu misteri yang takkan pernah terkuak. Amkhluk adalah zat yang memiliki angan-angan, cita-cita, keinginan, dan harapan. Kita juga memiliki mimpi dan khayalan. Di mana kesemuanya itu tidak selalu bisa tercapai. Makhluk diciptakan dengan keterbatasannya masing-masing. Keterbatasan itu yang membelenggu kebutuhan makhluk sebagai zat yang berjiwa.
Mengapa tidak seperti Tuhan yang hanya dengan sekali berkehendak langsung tercapai? Mengapa makhluk harus hadir dalam kehidupan, dalam aturan, batas, dan larangan tertentu yang sangat mengekang kebebasan dan rasa ingin merdeka seperti Tuhan itu sendiri.
Ah, sudahlah! Apakah itu penting? Bukan saatnya mengungkap hal-hal yang kurang banyak faedahnya. Diterka atau tidak, tidak akan mengembalikan hidup orang muda itu. Langsunglah kita pada apa yang telah terjadi.
Ah, kisah itu!
Apakah harus dimulai ketika ia mengenal istilah Romantika dalam hidupnya? Atau dari waktu sore untuk menjenguk senja timur yang dimerahkan? Atau saat melambainya sayap bangau putih pulang? Atau dari ketika ia membuktikan kehadiran Tuhan? Atau ketika ia bertanya tentang janji Tuhan yang tak pernah dijawab oleh siapapun? Atau ketika ia mulai paham bahwa ternyata Tuha itu tidak ada atau adanya hanya untuk para Muslim, para Nasrani, para Najusi, Yahudi, Atheis, atau apalah yang berlaku hukum Tuhan pada orang-orang itu? Atau ketika ia insyaf bahwa berita gembira Muhammad itu bukan untuknya? Entahlah!
Dari mana pun memulainya tidak akan mengubah kejadian hidup dan takdirnya. Tidak akan membelokkan hukum Tuhan, penerimaan manusia, dan pandangan makhluk lainnya dalam kehidupan ini.
Kalian boleh mengatakannya musrykin. Itu karena ia terlalu mencintai yang selain Tuhan. Tidak salah bila kau mengatakannya murtadin. Dalam hal ia tak mendapat jawaban dari agamanya. Menyebutnya seorang kafir karena lebih memilih jawabannya sendiri. Memanggilnya ahli neraka. Disebabkan baginya surga itu hanya angan-angan, diharamkan untuk tercium olehnya, benci kepadanya.
Ia takut bertanya pada orang lain yang baik-baik. Karena ketika ia bertanya orang-orang itu mungkin akan membencinya. Ia tidak bisa menemukan jawaban dari sabda-sabda. Karena ternyata sabda-sabda itu bukan untuknya. Ia tidak bisa mengambil jalan lewat firman-firman. Karena ternyata firman-firman itu juga bukan untuknya. Ia juga tak bertanya pada guru-guru. Karena mungkin di antara mereka tidak ada yang berilmu untuk menjawab.
Ah, malangnya anak itu. Hidupnya tiada bertemu dengan bahagia cinta. Tak terlihat senyum di sudut bibirnya. Selalu ada tetes air mata di sudut keningnya. Hangat mengalir jatuh dari dagunya. Di hatinya selalu ada sakit. Ada rasa penyesalan di sana. Mengapa ia harus dicurangi oleh Yuhan-nya sendiri?
Tak ada yang tahu dengan pasti apa yang di rasakan anak itu. Apakah ia bangga menjadi seorang manusia atau menyesal menjadi demikian?
Terkadang ia tertawa ketika melihat para guru itu berpamer-pamer tentang janji-janji Tuhan. Membangga-banggakan keagungan Tuhan. Padahal di dekat mereka berada seorang manusia yang telah merana hidupnya oleh karena segala pemberian Tuhan itu.
Atau ketika ia menutup mata saat tertidur. Ia tersenyum. Hhmm...baginya tidur adalah satu-satunya dunia yang ia sukai. Tidur itu baginya memberi mimpi-mimpi indah tanpa harus menggores dosa. Tanpa menyakiti orang lain.
Atau ketika ia bermenung seorang diri di kamarnya yang buram suasananya. Kamar yang gelap. Kamar yang dingin. Yang sepi. Itulah kamarnya. Di situlah ia berbaring. Menggeletakkan diri di atas kasur tanpa alas. Yang debunya masuk di hidung dan menumpuk di tenggorokan. Di situlah terkadang ia bermaksiat. Bercumbu dengan orang-orang yang dicintainya dalam angan atau mimpi. Atau sekedar berzina dengan diri sendiri barang sehari dua waktu.
Di kamar itulah meresap air mata di sela-sela bantal guling. Tergenang peluh kelelahan setelah satu hari menghibur diri sendiri dengan teman. Di dindingnya terukir redaman suara isak kesakitan atau jeritan do’a anak muda itu. Jendelanya tertutup rapat dengan tirai sedikit menghalang. Seakan melarang cahaya pagi merobek atmosfer di dalam kamar itu. Karena terangnya hanya semu. Indahnya hanya bisa dilihat. Bukan untuk dimiliki apalagi diminta. Layaknya dunia di sekitarnya.
Di situlah terakhir ia berbaring saat sakitnya datang. Saat dadanya turun naik antara hidup dan matinya. Belum lagi sakit jiwanya yang parah itu. Tak mungkin ia diobat rasanya. Bila dukun datang katanya hanya disapa kaum jin belaka. Atau bila dokter yang diundang. Ajalnya tinggal dibilang hari jua.
Ah, malangnya nasib orang muda itu. Barangkali Tuhan mengadzabnya. Lewat jasad yang bentuknya tinggal kulit pembungkus tulang. Yang bila diziarahi, maka yang terlihat hanyalah mata yang terbelalak lebar mendongak ke atas dengan mulut menganga jua. Jasad itu hidup tidak, mati pun bukan. Layaknya hanya sekedar jasad kehilangan jiwa. Sedangkan ruh masih bersisa sebatas perut dan dada.
Namun, dalam keadaan demikian itu ajaiblah ia. Ternyata Tuhan belum berkehendak atasnya. Bukan berarti Tuhan berbaik hati kepadanya. Namun lebih pada suatu permainan kehidupan. Tuhan berniat menacandainya terlebih dahulu. Selanjutnya, pemuda itu berfikir lebih jauh lagi. Berfikir tentang apa yang harus diperbuatnya terhadap Tuhan. Apakah ia harus terdiam? Menggunakan garis lurus kehidupan yang tak berwarna? Isinya hanya sekedar dipenuhi goresan-goresan penyesalan akan nasibnya. Pengaduan bisu yang entah kepada siapa diteriakkan. Entah didengar antah tidak. Atau apakah ia akan menjadi mush Tuhan, melawan-Nya, bahkan menghancurkan-Nya? Oh, ya!
Oh, ya! Mengahancurkan Tuhan! Mungkinkah!
Pemuda itu mulai mengembara lagi. Mengembara senja dan petang. Dikunjunginya rumah lamanya. Di barat dan di timur. Di tanah tinggi matahari tenggelam dan terbit. Di mana mataharinya bila dilihat dari tempat itu tidak pernah lain dari merah warnanya. Ungu garis awannya. Redup sinarnya keabu-abuan. Pucat mukanya namun tetap tegar. Atau bila ditunggu agak lama, maka akan terlihat anak-anak burung ke arah utara atau selatan. Bila pagi mereka pergi ke utara atau selatan dan bila sore mereka pulang ke utara atau selatan jua. Kembali ia kepangkuan alang-alang tua yang renta baunya. Ke hempasan debu jalanan tempat di mana sebelumnya ia menggores nama-nama orang yang ia cintai. Kembali mengayuh roda sepeda sambil membuang keringat panas leher hitamnya. Menghembus napas hangat dalam paru-parunya. Mengayuh pedal sepeda dengan tarikan otot betisnya yang hampir kurus tak berisi.
Bila ia telah sampai di pinggir sawah, tiba di sisi jalan di depan akasia berbaris yang bersahabat, disapanya orang-orang yang bertani itu. Melambai-lambaikan aritnya membongkar tanah. Atau bila diresapi maka akan terasa udara dan angin di tempat itu meraba-raba gendang telinganya. Menyentuhkan ayat-ayat Tuhan dari tiang bambu tua suatu surau yang tak diketahui arahnya. Di mana suaranya demikian lembut namun mampu menggetarkan bulu roma. Menggelitik aliran darah dalam badannya. Bila dinikmatinya tenang-tenang, maka suara itu akan terasa menggetarkan hati dan perasaannya. Merobek jiwanya hingga menjerit kepada Rabb-nya dengan tanya: Mengapa...? Mengapa...? Dan mengapa...? Ah, tanya itu. Nampaknya terlalu sakral dan keramat untuk diadukan kepada Tuhan. Terlalu lancang perkataannya.
Ah, tanya itu. Biarlah lenyap bersama lagu-lagu unggas yang berkicau. Musnah di balik tarian gesekan daun akasia. Hilang terbawa hembusan angin menghempas debu jalanan. Biarlah mengapa itu dilupakan saja. Karena bila disimpan tiada faedahnya. Hanya mengundang sakit. Memanggil luka. Bahkan mungkin membuat sesat.
Ah, lelahnya hidup ini bagi orang muda itu.
Lalu. Suatu malam tak terhitung ia duduk. Di meja bambu. Di bawah kicut bambu. Dekat sungai yang berbisik di sisi tanahnya. Memandang angin gelap di atasnya. Mencekam badan dan inderanya. Di tangannya ada sebuah jahitan kertas-kertas tua yang lusuh. Pena arang yang baru saja dirautnya dekat beranda. Digenggamnya barang itu. Lalu seperti malam biasa sebelumnya, ia menulisi kertas itu. Dengan sebait lagu, sebaris do’a, atau sepenggal puisi seperti yang ia tulis kemudian. Bila dicermati di hadapan kertas itu, maka akan terbaca samar-samar. Begini bunyinya:
Hari ini hari ketujuh untuk puisi
Aku membuka mata
untuk apa yang aku cintai
Di senja timur
untuk menengok wajahnya
Aku memandang
dengan cinta terbesar
bukan untuk Tuhan
tapi untuknya
Cahaya mata yang
memberi semangat
Nafas kehidupan
Dan aroma keringat
Jiwa terlelah
Diangkat sebagai Tuhan
Menjadi pengkhianat
dengan menghadapi
segala hukuman
Memberinya pengabdian
dan ketaatan
Bersujud di depan
firmannya yang
semakin membaptisku
sebagai pendosa
Lalu tulisan yang kedua:
Aku ingin berbicara kepadanya. Dengan bahasa sunyi yang tak terucap saat bertatapan dengannya.
Aku ingin mendekap. Dalam pelukan hampa yang musnah saat tersentuh olehnya.
Aku ingin menciumnya. Bersama cinta yang tak mampu kugambarkan saat tersentuh hangat tubuhnya.
Aku bib\ngung untuk melukismu dengan kata.
Yaitu matamu yang membuka seperti pintu surga dengan cahaya yang keluar dari dalamnya.
Yaitu nafasmu yang panas menarik bulu-bulu romaku.
Yaitu suaramu dengan getaran merobek jiwa dan merenggut rohku.
Aku bertanya
Tentang apa yang matahari, bintang, dan bulan katakan saat mereka bersujud untukmu.
Tentang apa yang ombak bisikkan saat mereka menyapamu.
Tentang apa yang angin ceritakan saat ia bertertemu denganmu.
Semua ingin aku tanyakan. Karena mengapa.
Karena aku mencintaimu.
Setelah kalimat terakhirnya itu ia tuliskan. Ia menutup lembaran itu. Diletakkannya dekat duduknya. Disimpulkannya lengannya di bawah kepala. Dibaringkannya tubuhnya. Direbahkannya leher dan dadanya di atas meja bambu itu. Dipandangnya purnama yang bersembunyi di balik ranting dan daun bambu muda itu. Disapanya akrab-akrab. Seakan-akan di antara mereka telah ada ikatan jiwa dan bathin. Dihayatinya lekat-lekat bisikan sungai di sampingnya. Seakan sebuah lagu tidur yang merdu. Mengantarnya ke alam mimpi. Lelap dan tenang.
Begitulah. Begitulah orang muda itu sesering kali tinggal di bawah jendela malam yang senyap. Adanya tak lain sekedar suara angin membentur daun-daun bambu, atau rengekan sungai, atau jeritan serangga malam yang selalu menemaninya.
Ah, pemuda itu. Hanya ia yang tahu seperti apa mimpi yang dialaminya. Orang lain tidak. Lalu bagaimana ia kembali kepada Tuhan-nya?
Mungkin dari sinilah kisah ini diakhiri. Walau tak begitu banyak yang dapat ditulis, apalagi bila melihat begitu banyaknya derita anak muda itu, tapi biarlah disudahi saja. Mungkin terlalu banyak jika diungkit satu persatu. Biarlah air mata yang kering itu tak perlu dipaksa-paksakan keluarnya. Biarlah hidup anak muda itu dihitamkan saja. Agar tak sia-sia kematian dan rintihannya.
Ah, akhir itu. Begitu ironis gambarannya.
Saat itu ia mulai mencari kebenaran. Berusaha menjawab sendiri tanyanya yang selama ini mengganggu hidup. Namun, tak satu pun yang bisa ia jawab. Ia bermenung ke pantai. Di depan senja yang merah di ufuk barat. Memandang hampa ke arah selatan seakan menunggu Tuhan yang akan menjawab tanya. Saat itu yang diyakini dalam jiwanya hanya satu. Tuhan tak seperti yang ia ketahui selama ini.
Ia baru sadar, bahwa Tuhan yang kata orang-orang itu Maha Mengetahui, adakalanya tak mau tahu. Tuhan yang selama ini dirasanya begitu dekat dengan kehidupan manusia, ternyata bersantai-santai di Kursi sana. Jauh di langit ke tujuh. Ia mulai mengerti bagaimana Tuhan memperdaya manusia yang lemah ini dengan mengiming-imingi keindahan surga. Baginya cerita-cerita surga itu sudah sering membuatnya tak habis pikir. Wanita, kekayaan, pakaian indah, dan makanan lezat. Itukah...? Itukah yang mereka kejar dari surga? Terbayang olehnya kehidupan surga dalam berbagai macam hal haram yang telah dihalalkan di sana. Mengapa... Mengapa Tuhan baru menghalalkannya di surga? Bukankah semua itu telah Ia haramkan sebelumnya saat di dunia. Itulah mengapa sebabnya catatan dosa terpatri hanya pada saat hidup di dunia. Karena Tuhan... Telah mengharamkannya.
Entahlah... Terbayang olehnya perilaku penghuni surga itu layaknya manusia yang haus akan sesuatu yang haram. Begitukah kehidupan di surga? Penuh kemaksiatan. Di mana kemaksiatan itu entah mengapa dihalalkan saat di surga, namun haram saat di dunia.
Bagi orang muda itu, dalam tanya lainnya ia mencari para penghuni neraka. Betapa mereka menjerit dalam kekekalan di dalamnya. Mereka itu telah dibuat insyaf oleh apa yang dilihatnya saat ini. Mengapa.. Mengapa manusia yang entah mengapa harus terlahir di bumi itu harus menerima imbalan demikian? Siapa yang harus disalahkan?
Cukupkah mereka saja yang disalahkan? Tidak! Masih ada Tuhan yang menciptakan neraka. Ah, mungkin Tuhan tidak sengaja membuat yang demikian itu. Bukankah Tuhan selalu menciptakan hal-hal yang indah! Tapi mengapa...? Begitu pula Adam. Ia yang memakan Khuldi dan dilempar ke bumi, hingga dari itu para keturunannya harus menghadap banyak ujian. Harus bisa memilih antara surga dan neraka yang sulit itu. Begitu pula iblis. Seakan ia menjadi kambing hitam dalam segala kekacauan yang pernah terjadi. Padahal semua itu hanya merupakan sebuah skenario Tuhan yang kini telah terungkap.
Itukah Tuhan? Yang selama ini bangga dengan sederet nama mulia-Nya. Apa Dia lupa jika iblis yang sesat itu Ia sendiri yang menciptakannya. Apakah Dia lupa bila Ia sendiri yang membuka pintu neraka hingga ada di antara ciptaan-Nya itu yang menuju ke arahnya. Dikekalkan di dalamnya.
Itukah? Itukah Tuhan yang selama ini kita kenal sebagai Dzat Maha Pengasih, Penyayang, Pengampun,...atau Maha apalah itu yang baik-baik bagi Tuhan.
Pemuda itu berfikir. Seburuk-buruk dan sejahat-jahatnya manusia itu, adakah di antara mereka yang memponis musuhnya lebih kejam daripada Tuhan memponis hambanya?
Namun entah, tiada yang menjawab...
Baginya semua yang terjadi. Apa pun itu. Semuanya hanyalah merupakan skenario Tuhan. Laksana enam buah mata dadu yang terlempar. Tak ada yang tahu siapa yang akan bergerak. Tuhan hanya memulai dan mengakhiri. Di tenagh itu semua, Tuhan hanya suka melihat. Melihat di antara sibuknya makhluk-makhluk Tuhan yang saling menyalahkan. Saling tuding sana, tuding sini. Lebih ironis lagi bila di antara merekatdk sekedar menyalahkan makhluk lain. Namun juga menyalahkan diri mereka sendiri. Di antara mereka ada yang terkena ponis Tuhan karena bermaksiat. Namun, setelah mereka bertobat, mereka malah mendapat ujian. Di mana antara ponis dan ujian itu seakan tak dapat dibedakan.
Mengapa... Mengapa Tuhan seakan tak pernah berfikir bagaimana beratnya menjadi manusia?
Mungkin Tuhan berfikir:
Mengapa Aku harus berfikir akan hal yang tak perlu aku rasakan. Aku adalah Tuhan. Di mana Tuhan itu tiada yang tak menyenangkan bagi diri-Nya.
Oh, ya! Sedemikian lupakah Tuhan kepada kita...? Mungkinkah karena Ia merasa paling tinggi hingga tak peduli lagi pada apa yang telah Ia ciptakan ini? Apakah Ia terlalu terlena dengan segala kemuliaan yang Ia miliki? Terbuai dalam segala keindahan yang ada pada-Nya?
Di situlah. Di situlah orang muda itu insyaf bagaimana hidupnya berjalan. Bagaimana ia harus berjuang menghadapi kehidupan yang sepertinya lepas dari janji-janji Tuhan. Hidup dalam dunia yang terbelenggu oleh tirai-tirai kaca tak kasat mata. Orang muda itu menjerit. Mencakar-cakar muka dinding dunianya. Ia ingin lepas. Bebas layaknya manusia atau makhluk lainnya. Pergi mencari kebenaran tentang Tuhan-nya. Melangkah untuk menagih janji-janji yang dulu pernah Tuhan ikrarkan pada semua ciptaannya.
Janji...? Oh, ya...! Pantaskah itu disebut sebuah janji!
Siapa yang akan menjamin bahwa janji itu akan Tuhan tepati. Bukankah Tuhan tidak terikat pada siapa pun untuk berbuat sesuatu! Lalu, bila manusia saja masih berani mengingkari janjinya, padahal ia tahu akan celaka akibat mengingkari janjinya itu, bagaimana dengan Tuhan yang tiada dapat dicelakai?
Benar-benar manusia yang telah dilupakan oleh Tuhan-nya itu adalah makhluk yang paling menyesali diri dan nasibnya sendiri. Maka ia pun tak bisa berbuat apa-apa. Terkapar di atas tkar penderitaan yang lahir sebagai takdir dari permainan dadu Tuhan. Ia seakan tak mau percaya, inikah Tuhan-ku?
Kini orang muda itu merasa dunianya kian sepi. Kian gelap, dingin, dan tertutup. Ia begitu jenuh. Bosan menjalani hidup yang seakan tak tersentuh oleh keadilan Tuhan. Tuhan, satu-satunya cahaya tempat mengulurkan secercah harapan yang kini lenyap. Lenyap bersama seribu tanya yang kian membelenggu jiwanya dari kebebasan.
Andai Tuhan menciptakannya layaknya manusia lainnya.
Kemudian ia berdiri. Dengan matanya yang masih terbuka namun tetap dengan pandangan yang kosong. Melangkah dalam jejak tanpa arah. Menjauhi tepi pantai yang telah lama diajaknya bercengkrama. Namun, ada yang tidak biasa di senja itu. Ombak-ombak itu seakan melambai-lambai ke arahnya. Memanggil-manggil pada orang muda itu untuk kembali. Bahkan surya pun seakan sekuat tenaga bertahan untuk tidak segera tergelincir di ufuk barat demi berseru, meminta agar orang muda itu kembali. Angin pun mendesak tubuh pemuda itu. Menghalang-halangi langkahnya agar tidak terlalu keburu berputus asa. Mendorong jasad pemuda itu seakan memaksanya untuk kembali tenang. Duduk menghadap pantai layaknya sebelum ia bangkit.
Sekali lagi. Ombak-ombak itu menampar tepian pantai. Tangan-tangan basahnya merambat di antara batuan karang hitam yang kokoh. Laksana ingin menjamah tubuh pemuda itu agar duduk bercengkrama dengannya kembali. Namun, adalah semua itu tersia-siakan belaka. Ikhtiar dan do’a alam-alam itu tiada terkabul sudah. Orang muda itu telah kehilangan asanya. Tiada peduli sejuta malaikat pun menghadangnya. Tak menghiraukan kobaran neraka apa yang akan dimasukinya. Tak gentar.
Disapanya batang akasi tua dihadapannya itu. Besar dan kokoh. Dibelainya dengan tangannya yang kurus berurat hijau. Dipandanginya hutan akasia itu lekat-lekat. Sunyi dan hampir gelap cahayanya. Kelihatannya tak seorang pun yang pernah lewat di tempat ini. Pikirnya.
Kemudian disimpulnya tali yang dipungutnya dari bekas tali perahu di pantai tadi. Dinaikkan tubuhnya ke atas bangku mahoni tua yang berlubang papannya. Entah siapa pemiliknya. Seakan kisah ini teramat dibuat-buat kebetulannya. Mungkin pula semua ini perkakas yang Tuhan sediakan kepadanya. Entahlah...
 Dipegangnya simpul itu. Didekatkannya ke arah geraham bawahnya. Dilingkarkan ke lehernya yang kurus tinggal ulang itu. Digesernya sedikit ke sedikit bangku tumpuannya itu. Namu, sebelum kakinya selesai menggeser, patah satu kaki bangku itu. Dan... Menggantunglah jasad pemuda itu. Menggeliat-geliat di udara lembab hutan akasia itu. Menjerit tanpa suara. Jari-jarinya bergetar. Urat-uratnya saling bertarikan. Matanya seakan didorong keluar dan lidahnya ditekan menjulur panjang ke kanan. Mulutnya sedikit berongga. Memperlihatkan gigi kuningnya yang berdarah membelah lidahnya dalam. Terakhir kali yang dirasa bergerak dari jasadnya itu adalah secarik kertas yang jatuh ke tanah. Lusuh dan kisut dikarenakan cengkraman jasad itu ketika dipisah dengan roh dan jiwanya. Kini tulisan itu terkapar di atas tanah basah. Di bawah jasad itu. Setelah itu, alam menjadi tenang kembali. Burung-burung yang tadi lepas dari sarangnya karena jeritan jiwa itu, kini kembali lagi. Angin yang tadi ribut, damai kembali. Ombak pun menghela napas dalam-dalam. Begitu pula dengan sang surya. Kini hilang, jatuh di ufuk barat yang merah saga. Semua kembali tenang. Seakan di bumi itu tak terjadi sesuatu yang berarti. Seakan tiba-tiba saja segala hal itu lenyap begitu saja. Seakan tanya itu tak pernah ada kisahnya. Semua tenang...
Dua hari setelah alam itu tenang. Orang-orang lalu-lalang di dalam hutan akasia itu. Terlihat di sana sebentuk jasad tanpa nyawa diusung keluar hutan. Tangan kurusnya menjulur keluar. Kaku berurat hijau. Orang-orang itu masih mengepung di bawah tali itu. Seakan bertanya pada segala apa yang ada di hadapan mereka. Pada apa yang ada di sekitar tempat keramat itu. Namun, tak seorang pun di antara mereka yang mendapat titik pencerahan. Maka pulanglah satu demi satu dari mereka. Sambil menghembus napas berat paru-parunya. Jenuh, tak mampu menguak tragedi di hadapan mereka. Mereka pergi. Meninggalkan tali itu dalam sepi sendiri.
Namun, tunggu! Ada yang terlupa. Terkapar di bawah tali itu secarik kertas lusuh nan kisut. Di mukanya tertulis, walau samar namun tegas:
Biar Tuhan itu melihat dengan jelas. Inilah hambanya yang teraniaya. Yang telah dilupakan-Nya, sebab terlalu terbuai dan tamak oleh pujian. Perang melawan Tuhan baru akan dimulai. Seperti yang telah pernah tertulis: suatu saat nanti akan muncul dari golongan manusia itu yang mengadili Tuhan. Tidak lama lagi. Manusia dan makhluk lainnya akan segera tau, bagaimana kebebasan mereka terbelenggu oleh kebebasan Tuhan. Padahal mereka adalah sesama roh yang berkeinginan sama. Walau mereka sadar: perang melawan Tuhan tiada kemenangan...
 
Pamekasan, 26 Maret 2007
Previous
Next Post »
Thanks for your comment