Anak-anak dan Belajar


Suatu kali salah seorang dosenku berujar. Begini kurang lebihnya:
“Zaman sekarang anak kecil diajarkan oleh gaya berfikir materialisme. Berbagai kursus belajar diwajibkan oleh orang tuanya. Semua itu menambah minimnya waktu mereka sebagai anak-anak untuk ber-explorasi. Seakan anak-anak hanya dikenalkan oleh dunia belajar yang orientasinya pada dunia dan materi.”
Sebagai mahasiswa yang bekerja sambilan sebagai guru les private, aku sedikit tersinggung. Namun sebagai orang yang tertarik mempelajari berbagai teori kospirasi, dimana mereka sudah mengagendakan segalanya sejak ratusan bahkan mungkin ribuan tahun yang lalu, menggunakan segala cara, dan juga sulit memungkiri eksistensinya membuatku tertarik untuk merenungi perkataan dosen tadi. Sebuah pernyataan yang nampaknya telah kudukung sendiri oleh daya ingatku kepada masa kecilku.

Ya, masa kecilku bisa dibilang cukup seimbang. Sebagai anak seusia sekolah dasar, bermain seakan menjadi fitrah. Walau disatu sisi aku selalu menyempatkan diri untuk membaca buku, berhitung, dan aktifitas belajar lainnya. Aku tak terlalu akrab dengan teman-teman yang seharusnya mendapat hak bermain denganku. Tetangga sebelah rumah seakan memiliki nilai negatif bagiku. Bermain di siang hari, jarang belajar, pergi entah kemana, dan ocehan tak berpendidikan lainnya.
Aku lebih dekat dengan mereka anak tetangga yang sedikit lebih jauh dari rumah. Memang dari banyak sisi mereka lebih eksklusif, tak semuanya memang. Mungkin juga karena angkatan akademik yang setara denganku. Di masa kecil itu aku memang lebih suka terlibat dalam permainan edukatif. Bermain sekolah-sekolahan, pasar-pasaran, membuat keluarga, berkemah, bersepeda, dan permainan yang memang tak sekedar asal senang. Bermain itu butuh sesuatu yang istilah kerennya saat ini kita kenal dengan manajemen.
Bila dibandingkan anak-anak tetangga sebelah, aku memang tak lihai menangkap ikan di sungai, tak bisa bermain kelereng, sulit menerbangkan layangan, bahkan yang hingga saat ini kusesali, aku belum bisa menyukai sepak bola. Mungkin karena telah mengenal konsporasi apa yang ada di baliknya.
Kelas empat SD aku mennjalani masa kecil di ligkungan baruku. Seakan cukup dengan satu-dua teman yang bisa menemaniku menonton tv sepulang sekolah madrasah. Atau menghabiskan waktu liburan dengan bermain kartu dan video game. Melintas begitu saja di lapangan sepulang madrasah kala anak-anak ramai menikmati sore mereka dengan riang. Sekali aku pernah berusaha mengunjungi mereka untuk berbaur main di lapangan, tapi nampaknya hari itu nasibku kurang beruntung. Mungkin aku tak tahu waktu yang tepat saat mereka bermain di sana. Entahlah, tak mudah mengingat pengalaman masa kecil.
Sepertnya teman-teman dekatku memang bernasib lebih baik dari pada mereka yang lebih jarang kuajak bermain. Sempat terpikir olehku bahwa selama ini cara orang tuaku mendidik sudah cukup membentuk pribadi terbaikku. Membuatku lebih bisa menikmati masa mudaku dengan belajar di sekolah-sekolah favorite di kotaku. Membuatku lebih bisa banyak terlibat dalam organisasi bahkan dengan orang-orang penting. Tapi itu tak kemudian membuatku merasa lebih baik.
Dalam pendidikan berikutnya aku dihadapkan pada realita teman-teman kader dakwah. Di kampus aku mengenal lebih banyak karakter. Pun yang saat ini kukenal menjadi orang yang dapat menikmati hidup tak selamanya menjalani masa kecil mereka dengan pingitan orang tua. Banyak di antaranya yang menjalani kehidupan layaknya teman-teman kecilku yang tak terlalu kuhiraukan dulu.
Hidup dalam kondisi ekonomi yang minim, lingkungan yang rawan, serta daya juang dan bertahan yang luar biasa yang sama sekali tak kudapatkan. Singkatnya, kemandirian mereka menghadapi masa kecil membuatku yang selama ini bermanja ria menjadi ciut.
Bulan berarti ‘nilai negatif’ yang mereka alami harus diterapkan menjadi kurikulum orang tua dalam mendidik anak-anak mereka. Bukan pula berarti sebuah keluarga yang protektif terhadap buah hatinya tidak dapat menjadikannya anak yang dapat menikmati hidupnya. Namun di sini yang terpenting adalah kapan waktu yang tepat untuk belajar dan menikmati hidup di luar sana. Walau dengan resiko kehilangan masa depan. Justru di situlah tantangan kita.
Walau indentik dengan belajar, bukan berarti seorang anak kecil hanya mengenal bagaimana merangkai huruf-huruf alfabet, bukan hanya sekedar menghitung berapa keliling dan luas bujur sangkar, bahkan tidak cukup sekedar menghafal Undang-Undang Dasar, nama-nama tokoh dan hari-hari besar nasional. Tidak layak seorang anak hanya dikenalkan berapa jumlah planet dalam tata surya, bermain magnet, belajar mencangkok, terlebih diajarkan bagaimana manusia pertama berasal dari monyet. Itu semua tidak cukup. Bahkan di antaranya tidak perlu (untuk mengatakan tidak boleh) diajarkan pada mereka.
Betapa lingkungan di sekitar mereka menyimpan lebih banyak nilai pembelajaran tentang kehidupan. Sebuah nilai yang bahkan sampai kapanpun akan sulit dicerna melalui buku-buku paket sekolah yang labil. Nilai yang bahkan guru-guru genit mereka saja perlu banyak belajar dari sana.
Bocah-bocah kecil itu bahkan terlalu sibuk jika harus menikmati pelajaran yang alam dan lingkungan berikan padanya. Sangat disayangkan, bila bocah-bocah tadi setiap hari mendengar dongeng tentang kemerdekaan tapi tetangganya mati kelaparan. Mendengarkan ceramah tentang ilmu gizi, tapi jajanan yang ia beli di kantin tak pernah membuatnya kenyang. Mengajarkan nilai dan etika sementara acara dan iklan televisi yang ditontonnya menjajakan wajah dan kulit perempuan. Mengajarkan kejujuran dan objektifitas padahal berita yang disimaknya penuh dengan suap dan nepotisme.
Semua itu jarang mereka pelajari dari buku paket. Anak-anak butuh dan berhak tahu ada apa dengan lingkungannya. Biarkan mereka mencari dan bertanya. Hingga akhirnya menemukan jalan yang sesuai dengan cita-citanya yang murni khas seorang anak. Tujuan yang tanpa diembel-embeli kekuasaan dan kepentingan materialisme. Keinginan untuk bermanfaat dan berbagi dengan orang lain. Memperbaiki dunia yang dirasanya tak sesuai dengan hatinya yang masih bersih polos. Tanpa pamrih. Benar-benar tak perlu berfikir panjang untuk mengatakan ini salah dan ini benar. Karena yang digunakan untuk menjawabnya adalah hati. Hati yang melihat saudaranya terluka, alam yang gersang, kebohongan yang menganga, dan kerusakan yang dilihatnya.
Mungkin mereka tak habis fikir. Mengapa orang-orang dewasa terlalu sulit  untuk berbuat kebenaran.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment