Heran aku. Betapa tak kuduga sebelumnya ada penulis macam dia.
Oh, ya panggil saja Iwan. Demikian aku akrab dengannya. Seperti kebanyakan
orang yang suka membaca dan juga menulis, aku pun cukup merasakan bagaimana
seharusnya sebuah kepedulian dan kepekaan sosial diterapkan dalam jiwa seorang
penulis. Kecuali jika memang kepekaan itu sekedar jatuh pada tumpukan kertas
dan dicetak menjadi buku sebagai konsepsi yang harus dipahami oleh para
pembacanya, tanpa si penulis itu sendiri mampu memahami dilema kemasyarakatan
yang ada dihadapannya. Menjadi objek pengamatannya selama ini, kemudian
menjadikannya inspirasi untuk menulis sehingga ia terkesan menjadi orang yang
serba tahu dan solutif. Tidak. Nyatanya tidak semua mereka semempesona itu.
Aku lama berkumpul dengan Iwan. Sebagai seorang mahasiswa
yang cukup memiliki pengalaman menulis, aku cukup kagum padanya. Tak sedikit
hasil tulisan-tulisannya yang sudah dinikmati bahkan oleh kalangan dosen pun dalam
media cetak. Terlepas apakah tulisannya memang layak publis atau karena memang
tak ada alternatif lain dari sang penerbit. Intinya Iwan adalah sosok yang
memiliki antusiasme yang relatif tinggi terhadap dunia jurnalistik.
Daya baca akan lingkungan juga tidak begitu buruk mengingat
ilmu sosial yang menjadi disiplin ilmu selama di bangku kuliahnya selama ini. Entah
sudah berapa banyak penelitian sosial dengan berbagai referensi telah
digarapnya. Membuatnya semakin meyakinkan sebagai seorang penulis ulung.
Ketekunannya dalam menulis dalam banyak keterbatasan sebagai seorang anak
petani, membuat Iwan kuyakini sebagai orang yang tangguh. Mungkin itu juga tak
lepas dari berbagai motifasi tertulis yang banyak dibacanya.
Untuk tinggal pun dia banyak menginap di takmir masjid. Walau
sebetulnya memiliki rumah kos, namun berkumpul dengan remaja masjid memiliki
nilai tersendiri tentunya. Tak ada sepeda motor ataupun laptop untuk mendukung
aktivitasnya. Tentu untuk memenuhi itu semua ia bergantung pada orang-orang terdekatnya.
Menggunakan laptop dikala pemiliknya jenuh usai menyelesaikan tugas atau kala
mereka telah lelap dalam tidur. Maka itulah jari-jemari Iwan mulai melentik di
atas papan keyboard laptop pinjamannya. Seakan jari itu merupakan konverter
signal dalam otaknya yang kemudian berubah menjadi sinyal digital dalam bentuk
huruf-huruf di layar monitor.
Hingga akhirnya menginjak tahun ketiga studinya, Allah
memberinya hadiah. Iwan tak lagi harus meminjam laptop temannya. Membuatnya
menjadi lebih mudah menyelesaikan tulisan-tulisannya. Merampungkan tugas-tugas
kuliah dan penelitiannya. Menyimpan banyak referensi dalam bentuk buku
elektronik ataupun halaman web. Semakin memudahkannya memperbaharui blognya dan
menjalin hubungan dengan banyak orang di dunia maya. Ya, Iwan menjadi semakin
produktif. Seharusnya!
Ya, seharusnya ia menjadi lebih menarik bagiku. Menjadi
seorang penulis yang semakin meningkat daya analisa dan kreatifitasnya terutama
terhadap lingkungan sekitar. Tapi tidak demikian. Ia justru terjebak oleh
tulisannya. Seakan-akan tubuh kurusnya terselip di antara lembaran-lembaran
buku yang tekun dibacanya. Menjelma sepenuhnya menjadi tulisan dan kata.
Jiwanya seakan ikut tersimpan dalam bit-bit sinyal monitor untuk membuat tulisannya
tampil di sana. Pintu kamarnya mungkin tidak selalu tertutup. Tapi cukup jarang
membuka untuk dunia di hadapannya. Menghalangi penghuninya untuk mengamati
lingkungan sosial yang jauh lebih berhak diamati dari pada sekedar memelototi
lingkungan maya yang didapatnya melalui ketukan papan keyboard.
Tak pasti apa yang dilakukannya. Apa pun itu, aku melihatnya
sebagai sebuah pengkhianatan terhadap sebuah jiwa kepenulisan yang awalnya
begitu peka dan peduli pada orang-orang disekitarnya. Dunia kepenulisannya kini
merasa lebih leluasa dan berkuasa walau pada hakekatnya hanya selebar layar
monitor. Merasa lebih dekat dengan mereka
yang jauh disana. Walau pada kenyataannya dijauhkan dari yang awalnya
berdekatan.
* Sumber
catatan tak diketahui
ConversionConversion EmoticonEmoticon