Tinggal
di lingkungan pesantren nampaknya baru pertama kali ini saya alami. Menjadi
seorang tenaga pengajar di sebuah lembaga di bawah naungan salah satu yayasan
yang nampkanya cukup besar. Memilki sekolah di semua jenjang pendidikan mulai
taman kanak-kanan hingga Aliyah. Bahkan masih ditambah lagi dengan sekolah
kejuruan, tempat di mana saya mengajar saat ini.
Sebagaimana
kehidupan pondok pesantren, aktivitas ibadah tentu lebih hidup. Sebuah masjid
megah nampaknya baru dibangun dan sudah bisa digunakan. Awalnya kegiatan
berjalan biasa-biasa saja. Jemaah sangat ramai saat shalat maghrib dan isya.
Hingga suatu ketika mengalami kejadian yang membuat saya benar-benar tak habis
pikir, bagaimana sebetulnya santri-santri ini dididik.
Adzan
maghrib berkumandang. Menghakhiri puasa syawal saya hari itu dengan air mineral
dan langsung meluncur ke masjid. Seperti biasa, masjid megah itu sudah penuh
dengan santri-santri untuk shalat maghrib. Penuh dan semakin penuh. Ya, penuh
begitu saja hingga saya sadari mereka mulai saling dorong untuk menjadi imam.
Cukup lama dan kondisi ini benar-benar membuat tidak nyaman. Ingin rasanya diri
maju menjadi imam, namum mengingat budaya yang sedikit berbeda malah bisa
membuat saya dianggap orang aneh bahkan sesat. Hal-hal non prinsip dalam sholat
seperti mengeraskan atau tidak bacaan basmalah dan dzikir sesudah shalat bisa
menjadi buah bibir. Akhirnya saya diam saja. Berharap ada seorang santri senior
yang datang dan langsung menjadi imam. Tapi aksi saling mendorong itu tak
usai-usai juga. Lama cukup lama.
Dalam
hati saya benar-benar heran. Betapa anak-anak santri yang saya yakin keilmuan
agamanya pasti tak seburuk saya, masih harus saling dorong untuk menjadi imam.
Seakan melihat sebuah simulasi ummat Islam saat ini. Jumlah mereka memenuhi dua
per tiga masjid. Bahkan mungkin lebih. Tapi tak ada satu orang pun yang siap
menjadi imam. Apakah mereka tak pernah diajarkan cara memilih seorang pemimpin.
Sebagai
suatu kaum yang besar. Sudah seyogyanya ummat Islam pandai dalam menentukan
pemimpin. Dalam keadaan apapun, seorang pemimpin harus segera dipilih. Kosongnya
kursi kepemimpinan hanya akan membuat rusuh dan hal yang seharusnya
dilakukanpun tidak terlaksana, fenomena di masjid itu contohnya.
Sebuah kekosongan
kepemimpinan Islam hanya akan membuat orang-orang kufur justru mengambil alih
kesempatan ini dan memanfaatkan ummat Islam. Seperti nasib saya. Andaikan kala
itu kemudian maju menjadi imam, menggunakan kebiasaan saya, barulah mereka
sadar bahwa orang yang tadi memimpin sholat ini tak sesuai dengan kaidah yang
mereka pahami selama ini. Tentu saja rasa sesal itu ada, namun orang yang kini
memimpin mereka ini merupakan buah dari sikap mereka sendiri yang saling dorong
dan tak acuh terhadap keutamaan dalam menentukan seorang pemimpin.
Hingga
akhirnya shalat maghrib itu benar-benar menemukan imamnya. Semoga itu telah
sesuai dengan keinginan mereka.
ConversionConversion EmoticonEmoticon