Amanah, Motivasi, dan Perubahan



Sering sekali kita sebagai mentor (atau apalah sebutannya) menghadapi kader (atau orang yang kita inginkan menjadi kader) mendengar alasan klasik sebagai interpretasi perasaan minder mereka untuk mengemban amanah.
“Maaf, Mas. Sepertinya saya belum layak...”
“Wah... Sholat saya saja belum bisa tepat waktu...”
“... Saya saja masih banyak berbuat dosa...”
Serta masih banyak lagi model kalimat minder yang dilontarkan kala kita hendak memberikan mereka amanah sebagai agen dakwah, misalnya menjadi mentor. Mungkin tak semuanya sekedar alasan untuk menolak amanah itu. Bisa jadi mereka memang memiliki kesadaran akan dakwah, dilihat dari antusiasme dan keistiqomahannya dalam meningkatkan dan menjaga ibadah amaliyah serta kegiatan dakwah lainnya. Mungkin mereka memang benar-benar tertarik untuk belajar. Tapi kerendahan hati yang tinggi memiliki pengaruh yang signifikan dalam menerima suatu amanah. Kerendahan hati itu yang membuat keistiqomahan qiyamul lail, ketepatan waktu shalat, atau ketartilan tilawah mereka bukanlah apa-apa bila dibanding Mas mentor yang mengajaknya ini. Dimana pada realitanya tidak selalu Mas mentor ini lebih baik dan menjadi acuan untuk mencapai syarat seorang mentor.
Ya, intinya rendah hati yang berubah minder. Itu tidak baik tentunya. Tapi itu belum seberapa. Di lain sisi mungkin mereka memiliki kekurangan yang menjadi penghambat (walau tidak signifikan) bagi mereka untuk menjadi mentor. Sebuah gambaran umum yang menyatakan bahwa kebaikan harus dimulai dari diri sendiri justru menjadi belenggu bagi mereka untuk berbuat baik sebelum benar-benar menjadi baik.
Lagi-lagi ini tidak baik.
Adakalanya kebaikan itu digerakkan dalam dua arah. Diri sendiri dan orang lain. Justru dengan demikian akan didapatkan sebuah motivasi lebih untuk berubah. Dalam kasus ini, kita ambil contoh menjadi mentor.
Secara umum kita sering terlalu sempit memberi gambaran kebaikan seorang mentor. Mungkin kita hanya berfikir dengan menjadi seorang mentor kita bisa mengajak orang lain berbuat kebaikan, menambah relasi, menambah pengalaman, mengisi waktu luang dengan kegiatan positif, bermanfaat bagi orang lain, dan lain sebagainya.
Tahukah kamu bahwa masih ada satu keistimewaan lain yang bisa kita dapat dari menjadi seorang mentor. Motivasi. Ya, dengan manjadi seorang mentor kita dipaksa untuk menjadi lebih baik, tentu saja bagi yang bisa bertahan.
Seorang mentor tentu akan tertantang bila shalat menteenya lebih istiqomah, bila tilawah menteenya lebih tartil, puasanya lebih sering, dan hal-hal luar biasa lainnya yang mau tidak mau membuat membuat kita ‘tersindir’ dan berfikir untuk tidak mau kalah.
Tapi, bukankah itu berarti kita menjadi lebih baik bukan karena Allah! Bukan karena ikhlas dan keinginan sendiri! Hanya untuk sekedar kompetisi dingin dengan orang-orang di sekitar kita!
Tidak. Karena bagi seorang mentor itu akan menjadi sebuah pembiasaan.
Sekedar tips dari pengalaman selama ini, mengingat perkataan Pak Dony*,
“Terkadang kebaikan itu harus dipaksakan.”
Apa artinya? Dalam melakukan sebuah kebajikan diperlukan proses pembiasaan. Sebuah pembiasaan hanya membutuhkan langkah awal yang memang sangat berat jika dibandingkan dengan keistiqomahan di depannya. Hal ini yang terkadang menimbulkan rasa malas.
Leonardo Sitorus dalam jawaban.com memaparkan bahwa langkah pertama ini ibarat sebuah kereta api yang baru mulai bergerak. Berat tapi semakin lama semakin ringan dan mulai stabil. Bahkan pada akhirnya sulit dihentikan.
Seperti itulah sebuah pembiasaan dibentuk. Di awal memang merupakan perjuangan yang berat untuk kemudian sulit ditinggalkan. Dari menjadi mentorlah kita akan dipaksa untuk melakukan langkah awal menuju sebuah pembiasaan kebaikan.
Andai menjadi seorang mentor tidak menjadi sebuah pilihan, akankah kita meningkatkan shalat kita, mengistiqomahkan qiyamul lail kita, memperbaiki tilawah kita, atau mempertahankan puasa kita. Akankah kita menjadi orang yang merasa berkewajiban untuk lebih baik dari orang yang dibinanya!
Mungkin tidak. Kita hanya akan merasa cukup dengan ibadah-ibadah stagnan kita selama ini. Bahkan sudah merasa lebih baik dari orang lain di sekitar kita. Kita tidak akan merasa berkewajiban untuk menjadi lebih baik. Tidak merasa punya tantangan. Tidak memiliki motivasi.
Apa pun mimpi dan cita-cita kita, tanpa sebuah realisasi tindakan yang dapat terukur berarti hanya sekedar pepesan kosong. Mentor sejati adalah mereka yang berani mencari tantangan agar menjadi lebih baik. Siapa pun percaya, semakin banyak pengalaman yang didapat, semakin terasah kelihaian seseorang. Bila kita berjalan kemudian terperosok, maka itulah pengalaman. Dengannya kita akan belajar untuk berubah menjadi lebih baik.

* Dony Burhan, N.H., Lc., M.A. adalah Ketua sekaligus dosen MKU Universitas Trunojoyo Madura
Previous
Next Post »
Thanks for your comment