“KKN sekarang
berbeda dengan yang sebelumnya.”
“Kami jadi
rindu dengan anak-ana yang tahun lalu.”
Dan banyak
lagi pengakuan yang terdengar sebagai keluhan dari warga dan adik-adik binaan
kami di desa tempat kami KKN tepat setahun yang lalu. Walau pesan-pesan tuan
rumah yang kuterima sejak beberapa hari yang lalu melalui handphone sudah
mengisyaratkan kekhawatiran pribadiku, tapi kondisi yang ada tak bisa kami
toleransi. Terlebih temanku, Ramadhan, yang kukenal sangat dekat dengan kondisi
sosial anak-anak di sana. Antisipasi psikologis dalam menerima realita ini
tidak cukup.
“Kalaupun beda,
tidak sampai sejauh ini...”
Setidaknya saya
bersyukur masa KKN cukup selama kurang lebih satu bulan. Tapi untuk sebuah
budaya pergaulan bebas, hedonisme, egoisme, dan materialistis merambat sangat
cepat dalam pribadi anak-anak desa yang polos itu. Gadis-gadis (semoga mereka
masih layak disebut demikian) yang terlihat sebagai marketing aurat dan
syahwat. Problematika sosial yang dulu juga dialami oleh kelompok kami, tapi
tidak sejauh itu. Namun itu belum selesai, kami bahkan tidak bisa membedakan
apakah sebuah kamar merupakan tempat laki-laki atau perempuan. Ruang yang
disediakan jauh lebih banyak dari setahun yang lalu. Bukannya merasa cukup
dengan kamar masing-masing, mereka sangat leluasa keluar-masuk dalam kamar yang
kecil itu. Berbaur dengan lawan jenis yang sudah jelas bukan muhrim. Dalam
sebuah kamar yang jendelanya tertutup tirai. Bahkan kami tak tahu mengapa mereka
harus menutup pintu. Lagi-lagi itu semua belum selesai. Masih banyak lagi.
Betapa saya
baru benar-benar menyadari. Program pengabdian masyarakat yang ditujukan untuk
mengembangkan aspek dan sumberdaya suatu daerah perlu lebih diperhitungkan
kembali antara maanfaat dan konsekuensinya. Tak sedikit mahasiswa yang
memprogram jatah KKN sekedar untuk memenuhi kewajiban akademiknya. Itu bisa
dibuktikan dari respon mereka saat menghadapi banyaknya kekurangan daerah
tempat mereka mengabdi. Sifat egois dan angkuh yang lebih mereka prioritaskan
daripada kekompakan dalam mencapai tujuan sebenarnya. Bahkan mengeluh hanya
karena makan tahu-tempe-telor.
Perkembangan
suatu daerah masih sangat dipertanyakan jika hanya menancapkan papan nama
aparat desa, menjadi guru penggati di sekolah, pengobatan gratis, training
membuat cemilan dari hasil sawah, dan program-program monoton lainnya. Perkembangan
itu sangat dipertanyakan.
Tapi penyakit selalu
lebih mudah menyerang daripada membuatnya lebih sehat. Kesempatan berkembang belum
pasti, tapi dampak negatif yang dibawa orang-orang pendatang tadi tentu lebih
menarik untuk ditiru oleh anak-anak desa yang polos itu.
Kita perlu
kembali berfikir, apakah KKN sebagai program pengembangan daerah perlu
ditinggalkan atau memperbaikinya menjadi lebih baik.
ConversionConversion EmoticonEmoticon