Beberapa hari yang lalu di asrama saya
ada seorang anak yang berniat untuk pindah. Alasannya sederhana, karena shalat
subuh di asrama kami memakai qunnut sebagai ciri khas masyarakat NU. Seperti
yang sudah banyak kita ketahui, hal tersebut merupakan sebuah kontradiksi bagi
kalangan Muhammadiyah. Entah apakah karena terkait fatwa masing-masing golongan
atau memang hanya sekedar kebiasaan budaya yang membuat anak tersebut merasa
sangat tidak nyaman dan memilih untuk mencari tempat tinggal lain. Menukar
semua kemudahan yang bisa ia dapat jika tetap tinggal di asrama. Terutama
terkait aktivitas kerohanian yang bertujuan meningkatkan spiritualitas. Walau
aktivitas kerohania yang dimaksud sebagai pembinaan ke-Islam-an secara umum.
Namun setidaknya dari sinilah konsepsi usaha menuju masyarakat kampus yang
madani.
Anak ini lebih memilih tinggal di
luar. Di mana aktivitas spiritual di luar cenderung lebih minim jika dibandingkan
dengan asrama. Seperti sholat berjemaah tepat waktu, mengikuti kajian rutin,
tilawah dan dizkir bersama, bahkan masih banyak lagi. Semua dikorbankan hanya
karena merasa kurang nyaman dengan kondisi lingkungannya.
Ketua asrama pun tentu paham dengan
kondisi ini dan berfikir tidak seharusnya demikian. Dengan pertimbangan
kebaikan yang seharusnya bisa di dapat, tentu memilih pindah dari asrama
hanyalah sebagai penjagaan spiritualitas diri pribadi. Ya, sekali lagi saya
katakan, diri pribadi. Mungkin anak ini berfikir untuk mencapai tingkat
keimanan, cukuplah diri saya sendiri. Sementara orang lain memiliki urusannya
masing-masing.
Mungkin anak ini merasa cukup bila
memiliki ketenangan yang diukur dengan standar diri pribadinya. Ketenangan yang
bisa ia dapat bila sudah terhindar dari segala hal-hal yang dapat mengganggu
ibadahnya. Sehingga ia lebih memilih kondisi yang benar-benar membuatnya nyaman
meningkatkan ruhyahnya, tentu saja (sekali lagi) ruhyah pribadinya.
Ia lebih memilih ketenangan sholat pribadi
daripada kekuatan ukhwah dalam berjemaah. Lebih memilih menikmati ibadah dengan
caranya sendiri daripada warna-warni masyarakat Islam yang sudah menjadi
sunnatUllah. Lebih memilih pergi jauh-jauh dari orang-orang yang tidak disukai
hanya karena beda pendapat daripada bersama-sama meningkatkan iman, menuju
jalan Allah.
Orang-orang seperti ini benarnya
termasuk mereka yang taat. Ia berniat mengambil jalan yang lurus, tapi tidak
siap dengan jurang dan kerikil yang ada. Orang-orang seperti ini memiliki
antusiasme yang tinggi terhadap penegakan kebenaran, tapi tidak siap menjadi
penegaknya, dan menuding orang lain untuk menegakkannya. Ia benar-benar
menginginkan kebaikan dari Allah sekaligus dengan cara yang semudah-mudahnya.
Bila ia mendapati rintangan, maka ia akan berpaling untuk mencari jalan pintas
lainnya. Ya, ia selalu berfikir menemukan jalan pintas kebahagiaan. Bahkan tak
peduli bagaimana kemungkaran dapat semakin merajalela akibat kepeduliannya yang
cukup untuk diri pribadi itu.
وَاتَّقُوا فِتْنَةً لَا تُصِيبَنَّ الَّذِينَ ظَلَمُوا
مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
“Dan peliharalah diri kalian dari fitnah yang
tidak hanya menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kalian, dan
ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya.”
(QS. Al-Anfaal [8]: 25)
At-Thabari (w. 310 H) menyampaikan
sebuah riwayat dari Ibn ‘Abbas tentang ayat ini, Ibn ‘Abbas berkata: “Allah memerintahkan
orang-orang yang beriman untuk tidak mendiamkan kemungkaran yang tampak di
hadapan mereka, jika demikian (tetap mendiamkan) maka Allah akan menimpakan
azab yang berlaku umum.”[1] Dalam
tafsir al-Baghawi (w. 510 H), ada tambahan redaksi terhadap pernyataan Ibn
‘Abbas ini, yaitu: “yang akan menimpa orang yang berlaku zalim dan yang tidak.”[2]
Kewajiban mengubah kemungkaran ini
juga telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam salah
satu hadits shahih:
مَنْ رَأَى مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ
بِيَدِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِلِسَانِهِ، فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ،
وَذَلِكَ أَضْعَفُ الْإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian
melihat kemungkaran, maka ubahlah ia dengan tangan, jika tidak mampu, maka
ubahlah dengan lisan, jika tidak mampu, maka dengan hati (dengan menunjukkan
ketidak ridhaan terhadap kemungkaran tersebut), dan itulah selemah-lemah iman.”[3]
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda:
مَثَلُ
القَائِمِ عَلَى حُدُودِ اللَّهِ وَالوَاقِعِ فِيهَا، كَمَثَلِ قَوْمٍ اسْتَهَمُوا
عَلَى سَفِينَةٍ، فَأَصَابَ بَعْضُهُمْ أَعْلاَهَا وَبَعْضُهُمْ أَسْفَلَهَا،
فَكَانَ الَّذِينَ فِي أَسْفَلِهَا إِذَا اسْتَقَوْا مِنَ المَاءِ مَرُّوا عَلَى
مَنْ فَوْقَهُمْ، فَقَالُوا: لَوْ أَنَّا خَرَقْنَا فِي نَصِيبِنَا خَرْقًا وَلَمْ
نُؤْذِ مَنْ فَوْقَنَا، فَإِنْ يَتْرُكُوهُمْ وَمَا أَرَادُوا هَلَكُوا جَمِيعًا،
وَإِنْ أَخَذُوا عَلَى أَيْدِيهِمْ نَجَوْا، وَنَجَوْا جَمِيعًا
“Perumpamaan orang yang komitmen terhadap ketentuan-ketentuan
Allah dan orang yang melanggarnya adalah seperti sekelompok orang yang
menumpangi sebuah kapal. Sebagian mereka berada di bagian atas, dan sebagian
yang lain berada di bagian bawah. Jika orang-orang yang di bawah ingin
mengambil air, mereka harus melewati orang-orang yang di atas mereka. Lalu
mereka berkata: ‘Seandainya kita lubangi saja (kapal ini) pada bagian kita,
kita tentu tidak akan menyusahkan orang-orang yang di atas kita’. Jika hal
tersebut dibiarkan oleh orang-orang yang di atas, padahal mereka tidak
menghendakinya, niscaya binasalah mereka semua, dan jika mereka mencegahnya, maka
selamatlah semuanya.”[4]
Dan masih banyak lagi dalil yang
menegaskan bahwa Islam mengajarkan berbuat kebaikan dan mencegah kemunkaran.
Untuk yang pertama ini manusia tak banyak menemukan kesulitan, tapi cenderung
lupa pada yang kedua.
Referensi: https://abufurqan.wordpress.com/2012/08/12/keharaman-berdiam-diri-terhadap-kemungkaran-tafsir-qs-al-anfaal-8-25/#4
[1]
Ibn Katsir, Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, Juz 4
(Riyadh: Daar Thayyibah, 1999), hlm. 37.
[2]
Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan fi Ta’wil al-Qur’an,
Juz 13 (t.tp: Muassasah ar-Risalah, 2000), hlm. 474.
[3]
Diriwayatkan oleh Muslim, Shahih Muslim, Juz 1
(Beirut: Dar Ihya at-Turats, t.t), hlm. 69, hadits no. 78. Diriwayatkan juga
oleh Ahmad, Ibn Majah, Abu Dawud ath-Thayalisi, Ibn Hibban, al-Baihaqi, dan
yang lainnya dengan redaksi masing-masing.
[4]
Diriwayatkan oleh al-Bukhari, Shahih al-Bukhari,
Juz 3 (t.tp: Dar Thauq an-Najah, 1422 H), hlm. 139, hadits no. 2493.
Diriwayatkan juga oleh Ahmad, at-Tirmidzi, Ibn Hibban, ath-Thabarani,
al-Baihaqi, dan yang lainnya dengan redaksi masing-masing.
ConversionConversion EmoticonEmoticon