Pembinaan ADK-Filosofi Ibu dan Anak


 Ingin tertawa rasanya mengingat masa lalu saya dulu. Betapa ketika Ibu berkata, “Nak, apapun yang Ibu lakukan saat ini, suatu hari nanti kau akan berfikir bahwa inilah yang terbaik. Bahkan mensyukuri dengan perlakuan Ibu selama ini. Kamu akan paham.” Kurang lebih seperti itu. Nampaknya setiap orang tua selalu menyampaikan pesan tersebut kepada anak-anak mereka. Ya, walau jelas-jelas seperti apa yang dikatakan, anak-anaknya baru akan mengerti setelah mereka sudah bukan anak-anak lagi. Setelah mereka menjalani kehidupan seperti orang tua mereka terdahulu.
Mereka dinasehati agar bisa memahami justru ketika mereka belum bisa memahaminya. Tapi tak mengapa, bagaimanapun itu waktu akan benar-benar membuat mereka paham suatu saat nanti. Permasalahannya bagaimana mereka akan menghadapi saat-saat pemahaman itu. Apakah mereka akan memahaminya dengan rasa syukur karena telah berhasil dituntun oleh kedua orang tua mereka, hingga mereka benar-benar merasa perlakuan orang tuanya adalah yang terbaik. Atau justru menyesal karena ketika mereka mulai bisa memahami segala, barulah terasa bahwa segala pembangkangan kepada orang tuanya terdahulu yang membuatnya menjadi seperti sekarang.
Benarnya segala ini kembali kepada bagaimana orang tua mendidik anak-anak mereka. Seberapa sabar menghadapi anaknya yang belum bisa memahami tindakan tegasnya. Walau anak-anaknya menentang, orang tua harus bisa bersabar dan mempertahankan apa yang dahulu juga pernah dialaminya. Mengapa? Agar anak-anak mereka bisa tumbuh selayaknya orang tua mereka. Bukan malah menyesal di kemudian hari karena telah menolak apa yang orang tua mereka berikan. Sementara orang tua yang lemah, ketika mereka membiarkan begitu saja anak-anak melakukan segala yang diinginkan. Meng-iya-kan segala kemauannya. Anak-anak itu akan tetap paham suatu hari nanti. Paham bahwa seharusnya dahulu orang tua mereka tidak membiarkannya begitu saja. Agar mereka menjadi lebih baik atau setidaknya menikmati kebahagiaan yang sama.
Menganggap bahwa saya dan beberapa teman lebih bisa membuat kemandirian yang lebih baik dan unggul."




Mengingat kisah perjuangan orang tua tersebut membuat saya teringat akan perjuangan pendahulu-pendahulu saya di dakwah kampus. Betapa saya masih ingat penentangan terhadap mereka. Menganggap bahwa saya dan beberapa teman lebih bisa membuat kemandirian yang lebih baik dan unggul. Memandang mereka sok alim, jaim, konservatif, saling memusuhi, membenci kelompok lain, otoriter, suka campur tangan, sok ngatur, hanya ngomong, dan tanpa aksi. Lengkaplah sudah kejelekan mereka sebagai kader ADK yang munafik. Saya mencoba untuk berdiri sendiri, bahkan mengumpulkan mereka yang merasa senasib. Mencoba membuat sebuah gerakan baru. Tapi hasilnya tidak terlalu membuahkan hasil. Kami, orang-orang yang katanya mengaku netral, idealis, yang paling benar dan baik, tidak memihak, tidak membenci, menjadi korban justru dengan segala ini malah menjadi komunitas baru yang missorientasi. Kami menjadi sedikit bingung tentang apa yang harus dilakukan. Rasa benci yang kami tuduhkan pada mereka justru tumbuh pada diri kami sendiri, bahkan membentuk kami menjadi lebih buruk. Menjadikan kami orang-orang yang malah mencibir ketika bertemu dengan mereka. Menjadi orang-orang yang tidak memiliki tindakan apapun dan hanya bisa berkeluh-kesah, curhat ini-itu, mengeluh, dan selalu merasa sedih. Bahkan semakin menjauhkan aktivitas dakwah dari komunitas kami. Bukannya memiliki aktivitas dakwah dan spiritual yang baik, kami malah menjadi pengganggu. Menentang walau tahu keputusan mereka lebih baik. Betapa bodohnya saya.
Sementara orang-orang yang kami benci nampaknya tak tergubris sama sekali. Tak menganggap kami sebagai sesuatu yang harus dipandang serius. Tentu karena mereka sadar jika masih banyak agenda dakwah yang jauh lebih penting daripada mengurusi tetek-bengek seperti kami. Bahkan dengan sendirinya komunitas kami berakhir tanpa hasil.
Untunglah saya masih menyadari. Membuat komunitas baru bukanlah solusi untuk menuju hidup madani. Kebaikan hanya lahir dari sebuah tindakan nyata dalam diri pribadi yang kemudian menyatu dalam kelompok dengan sebuah tolok ukur dan perhitungan akurat. Tidak hanya sekedar kumpul-kumpul untuk saling menunjukkan diri yang senasib sepenanggungan sambil menangis terisak-isak. Ketika teman-teman kita membimbing kita, menasehati, bahkan menegur bukan karena mereka sok tahu. Tapi karena mereka benar-benar tahu apa yang harus kita lakukan. Bukankah mereka telah lebih dulu ada daripada kita, catatan pengalaman yang lebih panjang, bahkan lama belajar daripada kita!
Komunitas baru hanya membentuk dan menambah kebencian baru. Sama sekali tidak membuat kondisi dakwah menjadi lebih baik. Hanya anak-anak yang bisa sabar menerima pemberian orang tuanya, dan orang tua yang sabar membimbing anaknya agar tidak berprilaku sesuai nafsu mereka. Bukankah orang tua kita pernah menjadi seperti kita, lalu mengapa kita tidak mempercayai mereka dan merasa lebih dewasa?
Previous
Next Post »
Thanks for your comment