Kaderisasi Dakwah-Filosofi Belajar Melangkah



Sebuah kaderisasi merupakan ujung tombak dalam sebuah organisasi. Karena darinyalah bisa diperkirakan akan seperti apa masa depan suatu organisai, kelompok, bahkan sebuah bangsa dan peradabannya. Dari sebuah sistem kaderisasi akan melahirkan orang-orang yang nantinya akan melanjutkan sebuah amanah dari para pendahulunya.
Tantangannya adalah bagaimana para pendahulu itu berhasil membentuk calon-calon penerusnya menjadi lebih baik dari zamannya atau setidaknya sama dalam mempertahankan warisan peradaban mereka. Jika tidak maka apa yang sudah mereka raih, mereka bangun, dan mereka pertahankan akan musnah bersama musnahnya eksistensi kader. Inilah tugas terberat dalam organisasi. Pembentukan karakter yang perlu diawasi agar karakter-karakter yang tertanam pada generasi dapat menjadikan mereka kader-kader yang mampu bertahan bahkan ketika para pendahulunya tidak lagi dapat memberikan pendampingan secara penuh.
Ibarat sebuah keluarga, harus ada anak-anak yang akan melanjutkan status keluarga mereka. Untuk mencapai itu semua, maka anak-anak mereka perlu diberikan kemampuan dan pemahaman akan arti kehidupan, terutama dalam keluarga. Dimulai dari belajar berjalan dan berbicara hingga memahami apa arti saling menghormati dan menyayangi. Tentu saja mereka juga mengenal istilah kemandirian. Mulai dari memakai baju sendiri saat masih kanak-kanak bahkan hingga benar-benar terpisah dari orang tuanya saat harus kuliah di luar daerah. Orang tua akan tetap memberikan pengawasan dan semakin lama akan semakin berkurang seiring berjalannya waktu dan pendewasaan.
Seorang ibu tentu merasa khawatir bila putra-putrinya dalam waktu tertentu ternyata masih belum mampu mengucapkan kata ‘Ayah’ atau ‘Ibu’. Juga ketika anak-anaknya masih belum bisa berjalan tegak dan hanya selalu merangkak. Tentu sangat mengkhawatirkan. Mengapa? Bukankah mereka bisa selalu mendampingi anak-anak mereka! Setidaknya masih dalam waktu yang sangat lama. Beberapa belas bahkan puluh tahun. Ya, tentu saja mereka khawatir. Karena mereka berfikir perlu adanya sebuah kemandirian untuk anak-anak mereka. Orang tua akan tetap memaksakan anak-anaknya belajar berjalan.
Belajar walau mereka tahu bahwa itu tidak mudah dan akan banyak kesulitan yang akan membuat anak mereka terluka. Jatuh dan menangis. Awalnya orang tua akan menatah anak-anak mereka. Memegang tangan dan bahunya sambil mengiringi langkah-langkah kecil anaknya. Atau memberinya kursi plastik untuk didorong kemanapun si anak mau. Intinya dia harus menegakkan kakinya. Orang tua akan melakukannya pada tempat yang leluasa, menyingkirkan segala benda mengganggu yang dapat menghambat langkah anaknya. Mengajaknya ke tempat berlantai rata nan halus agar kaki anaknya tidak kesakitan.
Ya, segalanya dibuat begitu mudah dan nyaman agar anaknya lebih mudah berjalan dan selalu termotivasi untuk belajar. Tidak takut untuk melangkah dan tidak minder. Tapi semakin lama orang tua akan melepasnya begitu saja. Walau melihat mereka terjatuh, luka, dan menangis. Tapi orang tua mereka tetap mengajarinya untuk berjalan. Karena orang tahu, bahwa tanah di halaman rumah mereka berbatu dan berduri, aspal di jalan raya sangat panas di siang hari, dan berlubang. Mereka hanya ingin anaknya sedikit demi sedikit memahami bahwa tidak selamanya jalan yang akan mereka lewati esok selalu mulus dan datar. Mereka juga harus menyadari bahwa tidak setiap waktu orang tuanya bisa mendampingir mereka berjalan. Ya, mereka harus bisa berjalan sendiri. Belajar untuk tegak di atas kakinya sendiri demi kebebasannya secara pribadi esok hari. Agar segala kegiatannya sebagai bagian dari kehidupan, terutama masyarakat dalam berjalan lancar secara mandiri. Tidak selalu bergantung pada orang lain.
Tak ada bedanya dengan penbentukan pribadi seorang kader. Seorang kader pada awalnya perlu banyak dibimbing. Perlu diberi banyak refreshing dan hiburan dalam penanaman sebuah nilai dakwah. Halaqoh yang diselingi tawa dan canda sambil makan bersama. Bisa juga membawa mereka ke taman untuk diberi outbond. Mengajaknya jalan-jalan ke toko buku atau bahkan sekedar rekreasi sekaligus silaturrahim ke rumah antar kader. Masih banyak bentuk pemanjaan yang bisa kita berikan agar kader-kader itu merasa nyama dengan kita. Menganggap kita sebagai teman atau bahkan sahabatnya yang asyik diajak curhat dan jalan-jalan. Membuat kesan bahwa organisasi dakwah ternyata asyik untuk digeluti. Tapi ingat, perjalanan dakwah yang sebenarnya justru jauh dari itu semua.
Hal yang perlu kita ingat adalah esensi dakwah yang akan tertanam dalam diri penerus kita. Jangan sampai mereka terbentuk dengan karakter yang manja dan selalu berharap senang-senang. Sehingga ketika sebuah problematika dakwah mulai datang mereka hanya bisa galau, menyerah, menghindar, dan merasa dikecewakan. Bahkan mungkin yang lebih mengkhawatirkan menyalahkan dan merasa tidak sesuai dengan jemaahnya.
Kader dakwah adalah mereka orang-orang yang harus siap di segala medan, segala cuaca, segala perlakuan orang lain, dan kondisi apa pun itu. Jalan terjal dakwah sudah seharusnya dipahami atau setidaknya mulai berusaha untuk menerima. Akan ada suatu kondisi dimana tertawa terbahak-bahak harus lebih dikurangi dan diganti oleh lantunan tilawah. Ada waktu dimana simulasi outbond benar-benar menjadi realita yang jauh lebih keras. Kebiasaan saling curhat dan berkeluh-kesah menjadi saling menguatkan dan tegar. Pergi untuk santai dan bersenang-senang menjadi sibuk mengurusi kesejahteraan orang lain. Berbondong-bondong bersilaturrahim menjadi perpisahan dengan amanah masing-masing. Bahkan sudah saatnya bahan-bahan materi yang disampaikan dalam halaqoh dimutabaah sudah sampai sejauh mana.
Mereka akan tetap bersama kita dan berkembang secara mandiri bila telah memahami eksistensinya. Namun jika tidak, mereka hanya akan mengenal dakwah melalui kita karena hura-hura, cangkru’an, senang-senang, dan jalan-jalan yang suatu hari nanti bisa mereka dapatkan lebih banyak dari dunia lainnya. Mereka akan melupakan kita dan dakwahnya.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment