Gugun

Satu bulan. Lebih beberapa hari . Kami, aku dan Gugun menjadi tukang susun berita koran di salah satu media terbitan di daerah tempat kami kuliah. Bahkan baru  beberapa hari yang lalu kami terima honor pertama. Aku hanya sekedar mencari status karir kerja kantoran. Honor tak terlalu penting. Bagiku pengalaman dan aktifitas rutin setelah lulus lebih utama. Terlebih bisa membuat orang tua lebih bangga karena putra bungsunya ini sudah bekerja. Setidaknya memiliki jawaban konkrit saat orang bertanya, “Kerja dimana?”. Namun nampaknya berbeda dengan Gugun. Walau awalnya sekedar iseng mengajaknya melamar pekerjaan, dia terlihat lebih punya keinginan untuk menetap. Berbeda denganku yang bahkan hingga kini merasa tak betah bekerja di tempat itu. Menyusun berita ternyata bukan pekerjaan mudah seperti yang seniorku katakan. Sumpek. Setiap malam hanya itu-itu saja. Jadilah aku bekerja setengah hati dan berharap punya alasan untuk mundur. Tapi Gugun, walau sering datang terlambat, tak lancar berinteraksi, sering mendapat teguran, dan sifat pasif lainnya, dia mengaku benar-benar ingin bertahan lama di sana. Entah karena kebutuhan uang jajannya, tuntutan magang akademiknya, atau hobi. Aku tak tahu dengan pasti.

Allah memang punya rencananya sendiri. Sore itu untuk yang kesekian kalinya Gugun tak membalas smsku saat mau berangkat ke kantor. Mungkin kehabisan pulsa, mungkin juga tertidur, atau memang sedang sibuk dengan acara organisasi. Entahlah, tapi yang jelas ini bukan pertama kalinya aku harus berangkat lebih dahulu seorang diri. Biasanya kami berangkat bersama, lumayan bisa menghemat bensin dengan bergantian sepeda motor setiap hari. Setelah beberapa menit sampai kantor biasanya dia sudah datang menyusul. Tapi, hingga rapat sore ini dimulai dia tak kunjung kelihatan.
“Gun, mending kamu izin aja sekalian. Tadi waktu rapat, tugasmu diserahkan pada Mas Ari untuk sementara. Hubungi atasan, ya. Cari alasan yang kuat.” Kukirim pesan sms itu padanya. Kemudian seperti biasa aku memulai ‘pekerjaanku’, menganggur lebih tepatnya. Karena biasanya sebelum jam enam sore masih belum ada berita yang bisa aku susun. Selama itu pula aku harus bersibuk-sibuk dengan kegiatan yang sangat membosankan. Tentu tidak termasuk ber-sosmed, nonton video, atau lainnya. Kemampuan kerja yang pas-pasan tak membuatku berani banyak tingkah. Membuka email, membaca berita sebelumnya, membuat dummy, menyiapkan gambar berita, atau menulis. Semua dilakukan dengan diselingin melihat folder berita. Berharap ada file MS Word yang bisa aku susun.
Walau tak membalas smsku, kuangap Gugun benar-benar izin hari ini. tapi, oh tidak. Tiba-tiba saja aku telah melihat Gugun di balkon lantai dua. Nampaknya sedang bicara dengan atasan. Sejak kapan mereka di situ. Kulihat meja kerja Gugun, di sana sudah tergeletak tasnya di tempat biasa. Mungkin dia tak meghiraukan smsku atau jangan-jangan memang belum dibacanya. Kulanjutkan menikmati kebosanan rutin di depan monitor.
Tak berapa lama kemudian dia masuk. Menghampiri meja kerjanya yang dipakai pekerja lain. Mengambil tasnya, tentu untuk pindah pada meja kerja yang masih kosong. Kugeser kursi sebelahku, tempat wartawan itu memang sudah kosong pada jam segini, bisa digunakan untuk pekerja lainnya.
“Duduk sini!” ajakku pada Gugun. Seperti biasa, ia bergerak pelan.
“Saya pamit dulu, ya Mas. Pulang duluan.” Suaranya gugup. Kelihat mata nanar itu. Selama sekian tahun mengenalnya, baru kali ini melihat ia demikian.
“Oh, iya. Tapi besok masih tetap ngantor’kan!” Tanyaku sekedar memastikan status kepegawaiannya tak ada masalah.
“Tidak, Mas.” Jawabnya setengah berbisik.
“Kamu insign*?”
“Ngga’, tapi...”
Aku beku. Baiklah, tak ada yang perlu ditanyakan lagi. Semuanya sudah jelas. Dipecat.
“Ya sudah! Sekarang kamu pulang saja. Tenangkan diri. Nanti kita bicara di kampus. Ya!”
Tak ada gunanya juga berlama-lama di tempat yang lebih cocok jadi mesin oven ini. Sumpek. Tertekan dengan atmosfer lingkungan kerja yang bila pintunya dibuka akan menguap tak jadi apa-apa. Menyebarkan aroma yang ketika sudah keluar tak jelas baunya. Apakah menebar wangi atau busuk. Tapi sekarang setidaknya Gugun sudah tak lagi perlu pengap dengan segalanya itu. Ia telah bebas. Mengembalikan tujuh jam kebebasannya yang belakangan ini harus terbuang hampir sia-sia setiap hari. Di dalam oven apek itu.
Waktu maghrib telah tiba. Mungkin ini untuk pertama kalinya aku shalat sendiri. Tanpa Gugun. Sebelumnya kami selalu rutin berjemaah mahgrib dan isya di kantor. Memang sejak awal sudah demikian. Selain Mas Yayan, senior yang mengajak kami untuk menggantikannya bekerja di kantor itu, sepertinya tak ada yang bisa memanfaatkan waktu luangnya untuk berjemaah, bahkan untuk shalat pun jarang. Sekarang Gugun sudah tak lagi bekerja. Membuat nganggur satu sajadah di tempat biasa kami shalat. Sejak saat itu pula aku akan jauh lebih sering langsung memulai shalat ketika waktunya tiba. Tak perlu menunggu atau ditunggu seseorang untuk menjadi makmum atau imamnya. Shalat seorang diri. Ah, betapa sayangnya pahala berlipat ganda yang hanya bisa diberikan Allah melalui cara ibadah jemaah itu. Semoga tak terlalu lama untuk mendapat teman jemaah lagi.
Kini berangkat ke kantor sore hari menjadi lebih sederhana. Setelah bangun tidur bisa langsung berangkat tanpa menghubungi Gugun seperti sebelum-sebelumnya. Tidak perlu saling menunggu dan dengan begitu kemungkinan datang terlambat lebih kecil. Pulangpun demikian, hanya berharap dapat bersama atasan yang juga satu arah, tanpa menunggu Gugun yang sibuk memelototi prosgress download halam web.
Seperti keinginanku sebelumnya, kuharap dalam waktu dekat dapat meninggalkan semua ini.
Previous
Next Post »
Thanks for your comment