Padi. Tanaman bernama ilmiah Oryza sativa itu tentu bukan hal asing lagi di telinga kita.
Orang-orang asia telah menjadikannya makanan pokok. Bahkan Indonesia sebagai
negara pengahsil padi terbesar ketiga setelah China dan India, mencatatnya
melalui simbol Dewi Sri dalam mitologi kuno. Nampaknya padi begitu memiliki
makna bagi negara ini. Padi adalah lambang kemakmuran bangsa. Ia juga dekat
dengan anak-anak melalui tamsil dan perumpamaan di pelajaran bahasa sekolah
dasar, menjadi teman bermain berbagai bentuk, bahkan selalu ada dalam kertas
gambar bersama gunung dan matahari. Padi dekat dengan keindahan.
Pernah suatu ketika saya ditegur Bapak. Pasalnya saya
mengabaikan butir-butir beras yang cukup banyak berceceran di lantai. Sangat
disayangkan. “Itu beras, Nak!”. Dalam hati aku sempat mengernyit. Apa salahnya
mengabaikan butir-butir yang mungkin kalaupun dikumpulkan dengan susah payah
tak samapai segenggaman tangan. Tapi aku merasa ada pesan lain yang Bapak
sampaikan. Beras dari padi yang berceceran itu seakan tetap memiliki harganya
sebagai kebutuhan hidup. Dari butir-butir itulah sebagian besar bangsa kita
–bahkan mungkin bangsa di dunia, menggantungkan hidupnya.
Lebih-lebih masyarakat kita telah menganggap padi atau beras
sebagai sebenar-benarnya makanan. Selain padi atau beras, bagi mereka hanyalah
makanan ringan atau tambahan saja. Kita akan benar-benar dikatakan sudah makan,
jika yang kita makan itu adalah sepiring nasi. Bukan sepotong roti, bukan juga
segelas susu, sagu, gandum, apalagi sebungkus sereal.
Begitulah padi. Dengan tubuhnya yang mungil, ia mampu
mengenyangkan perut-perut orang kelaparan di dunia.
Bicara soal padi, ia tak hanya bisa menjadi pribahasa orang
pintar dan orang bodoh. Ada sisi lain yang bisa kita amati darinya sebagai
bahan ajar dari alam. Seleksi alam. Seleksi alam di sini tak hanya sekedar
konsep natural selection ala para darwinis. Tapi lebih kepada bagaimana kita
menjalani proses yang hasilnya tak memiliki variabel konkrit dengan sebuah
value yang sulit terukur. Relatifitas sangat dominan dalam menilai kandidatnya.
Bahkan nampaknya sistem klasifikasi Bayesian
dan segala macam turunannya tidak cukup memberikan akurasi yang baik. Lagi-lagi
karena semua itu benar-benar sulit diramalkan.
Seleksi alam padi mengajarkan agar kita tak terlalu cepat
menentukan dan yakin, mana padi yang akan bertahan hingga akhir. Bahkan awalnya
kita tak harus peduli, mana padi yang lebih baik dari padi yang lain. Karena bila
waktu panen telah tiba, sangat mungkin kita berubah pikiran. Segalanya itu
ibarat memilih kader.
Ya, banyak dari kita mengupayakan berbagai hal untuk menarik
minat terhadapa calon kader. Salah satu contohnya adalah mahasiswa baru.
Berbagai langkah diambil untuk menarik perhatian mereka. Mulai dari menawarkan bantuan,
mengadakan acara, mengajak ikut diklat, sering menghubungi via sms, dan
sebagainya. Tapi pernahkah kita mengamati seberapa besar dari mereka yang
menjadi sesuai keinginan kita? Pengalaman pribadi saya mengajarkan, padi-padi
yang tumbuh sehat hingga masa panen adalah biji yang dahulu tidak pernah kita
perhatikan dengan baik.
Padi yang baik adalah mereka yang mampu bertahan dari
lingkungan ekstrim, selamat dari hama, tumbuh alami tanpa banyak tersentuh
pestisida dan perlakuan lainnya. Padi terbaik tidak akan manja. Ia memiliki
daya tahan internal yang sudah jauh dimiliki sejak sebagai bibit. Bukan hasil rekayasa
genetik yang memaksa. Sehingga mereka lebih terjamin untuk bertahan lebih jauh.
Bukan rekayasa yang mungkin akan selalu diperbaharui dan bergantung pada orang
lain.
Padi yang kuat akan berdiri tegak dengan sendirinya di
antara robohnya padi-padi lemah. Di antara padi-padi hasil rekayasa yang
bertahan sementara. Mereka akan muncul dan mengagetkan kita bahwa merekalah
yang layak untuk pilih bahkan tanpa mereka sadari.
Bukan karena mereka dekat dengan kita saat daftar ulang.
Bukan karena mereka aktif selama diklat. Bukan karena mereka kritis. Bukan
karena semangat yang menggebu-gebu. Pun bukan karena ibadah ritual formal. Tapi
ada suatu aspek yang tak bisa kita perkirakan untuk mengatakan si Fulan orang
yang cocok atau si Fulan tidak cocok. Sisi yang kemudian mau tidak mau tetap
mempertemukan kita dengan mereka walau tanpa ikut diklat atau halaqoh
sekalipun. Suatu atribut entitas yang hanya Allah yang menentukan, kader mana
yang akan menemukan kita.
ConversionConversion EmoticonEmoticon