Dakwah Bukan Keren-Kerenan (Filosofi Sapu Lidi)



Kamu aktivis dakwah kampus! Sudah terlibat aktif selama bertahun-tahun membangun organisasi dakwah! Pernah jadi ketua umum, ketua pelaksana! Sering mengadakan seminar dengan pemateri nasional yang pesertanya ratusan orang! Atau bahkan sering menjadi pematerinya. Apalagi seorang hafidz tiga puluh jus yang sekaligus sering mengikuti bahkan menjuarai lomba MTQ. Juga tak lupa ikut meramaikan masjid dengan shalat berjemaah dan tilawah 1 day 1 juz.

Tentu bangga menjadi seorang aktivis dengan segudang kegiatan yang saya sebut tadi. Menyibukkan diri dengan aktivitas dakwah yang tentu membuat lembaga dakwah itu sendiri memiliki pamor bergenggsi. Bahkan dianggap eksklusif karena terkesan hanya orang-orang sempurna yang jauh dari dosa yang bisa ikut di dalamnya. Mewakafkan diri pada kegiatan-kegiatan yang banyak menyita waktu, tenaga, dan pikiran kita. Tentu dengan kerendahan hati bahwa diri ini masih perlu banyak belajar. Hingga tak diragukan lagi masih harus banyak i’tikaf mendekat pada Allah.
Menjadikan lembaga sebagai suatu media dakwah tentu memiliki suatu keutamaan tersendiri. Eksistensi sebagai suatu gerakan terkoordinir dengan strategi yang telah dirancang bersama. Kekuatannya yang dapat membuat kinerja perorangan menjadi jemaah akan lebih efektif dan kuat. Ibarat tali yang mampu mengikat ratusan bahkan mungkin ribuan lidi menjadi sapu. Hingga ia mampu membersihkan halaman luas dari sampah. Tentu saja jika sebuah lidi berdiri sendiri, ia mungkin akan patah bahkan sebelum sehelai daun kering tersingkirkan. Begitulah organisasi.
Namun demikian, tujuan tetap mejadi hal utama. Bahkan mewarnai segala aspek yang akan dilaksanakan. Tujuan atau visi sebuah organisasi ibarat sebuah target sapu lidi untuk membuat bersih suatu halaman. Hingga setelah tugasnya usai, maka halaman tersebut akan dilihat kembali seberapa bersihnya. Beberapa helai daun yang masih terlihat, akan menjadi penilaian sejauh mana sapu lidi itu bekerja.
Ya, dari seberapa bersih halamannya. Dari tujuannya. Sapu yang mahal dan terlihat bagus mungkin bisa bekerja lebih baik. Apa lagi jika memiliki banyak fungsi dan model. Gagang panjang dan kuat bahkan susunan lidi yang rapi. Tapi lagi-lagi, tetap saja hasil akhirnya adalah sejauh mana halaman itu menjadi bersih. Tidak cukup harga yang mahal atau bahkan bisa melakukan atraksi gerakan apa pun, si sapu tetap akan dinilai dari bersih tidaknya dia bekerja. Dari nyaman atau tidaknya dia digunakan.
Disinilah seharusnya organisasi, terutama dakwah memiliki system controlnya. Yakni pada apa yang menjadi hasil akhir yang telah menjadi visinya. Dakwah adalah media ketika kamu bertemu dengan mereka yang memiliki tujuan sama ke jalan Allah. Menjadikan hal buruk menjadi baik, dan yang baik semakin baik. Kejahatan menjadi kebaikan. Kemungkaran dan kemakasiatan menjadi ketaatan. Kejahiliahan menjadi keilmuan. Kekufuran menjadi keimanan.
Ibarat sapu yang bekerja tadi, segalanya membutuhkan proses, dengan hasil yang akan dilihat kemudian. Harga, model, warna, dan bentuk sapu adalah satu dari sekian banyak hal yang akan membuat kerja sapu lebih maksimal. Bahkan dengan keahlian tertentu sapu yang murah dan jelekpun dapat bekerja hingga mencapai tujuan utamanya.
Demikianlah organisasi, dari seminar yang kita selenggarakan, lomba yang kita ikuti, bacaan Al-Qur’an yang kita amalkan, sedekah yang kita keluarkan, apapun itu adalah modal dan proses memaksimalkan aktivitas dakwah kita. Tentu (sekali lagi) dengan hasil akhir yang menjadi tolok ukur kesuksesannya. Efektifitas dan analisa yang telah menjadi tugas organisasi yang mewadahinya pun menjadi prioritas utama.
Tukang sapu yang bekerja secara kelompik tentu akan lebih baik daripada yang seorang diri. Yang bekerja dengan pembagian lokasi, akan lebih baik dari pada yang bekerja mengambil lokasi semaunya. Yang bekerja sesuai pembagian kemampuan dan banyaknya kotoran juga akan berpengaruh. Semua ada caranya. Dan cara itu pula yang menentukan efektif tidaknya kerja yang dilakukan hingga menentukan system mana yang lebih mendekati visi awal semula.
Intinya kembali pada cara dan sejauh mana cara itu mendekatkan kita pada visi. Visi dakwah.
Next
This is the current newest page
Previous
Next Post »
Thanks for your comment